ARKEOLOGI ISLAM

ARKEOLOGI ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Mesjid merupakan salah satu peninggalan Arkeologi yang bersifat monumental yang berfungsi sebagai tempat peribadatan umat Muslim, untuk konteks Islamisasi di Indonesia Mesjid memiliki peranan penting dalam proses Islamisasi di Nusantara, Seperti di Cirebon, Banten, Maluku, Batavia, Jogjakarta dan kota-kota lain di Nusantara.
Seperti yang kita tahu bahwa Islam di sebarkan di Nusantara oleh para pedagang dan pendatang dari berbagai  bangsa di belahan Asia seperti Arab, India, Cina, dan Persia. Maka hasil kebudayaannya pun memiliki kekhasan tersendiri terutama dari segi Arsitektur.
Seperti yang akan di bahas dalam makalah ini ada beberapa Masjid yang akan kita ulas sebagai sumber pengetahuan kita mengenai Mesjid di Nusantara sebagai symbol betapa kuat dan masivenya proses Islamisasi di nusantara.
B.     Rumusan Masalah
Ketika berbicara Budaya berarti kita berbicara peradaban suatu bangsa yang nantinya akan menentukan gerak langkah dan tujuan suatu bangsa tersebut.akan tetapi hasil budaya mereka kemudian dikembangkan di sebarkan ke daerah lain dengan mengikuti kebudayaan skitar sehingga terjadi Akulturasi (percampuran budaya).
Islam merupakan Agama yang telah di bungkus dengan rapi oleh kebudayaan Timur-Tengah yang di sebarkan oleh Rasullulah SAW kemudian dilanjutkan oleh para Sahabat dan penerusnya. Sampai pada akhirnya Islampun di sebarluaskan keberbagai penjuru Dunia dan salah satunya adalah Nusantara, dan ketika berbicara agama pasti berbicara ibadah dan sarananya.
Dari pemapoaran di atas terdapat berbagai masalah yang mesti kita kupas :
1.      Mengapa Mesjid di Indonesia begitu beragam ?
2.      Mengapa Harus Mesjid ?

BAB II
PEMBAHASAN
Dalam makalah ini terdapat beberapa mesjid yang akan kita bahas, setidaknya ada enam Mesjid yang akan penulis bahas sebagai tambahan ilmu mengenai Arkeologi Islam di Nusantara dalam kategori Monumental, berikut Mesjid-mesjid yang akan penulis bahas :
1.      Masjid Agung Banten, Gelora Dakwah Kerajaan Banten
Banten Lama, - Banten sejak lama dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di ujung paling barat Pulau Jawa. Karena itu, serupa dengan kesultanan lain di Pulau Jawa, Kesultanan Banten memiliki masjid Agung sebagai sarana dakwah dalam masyarakat Banten. Masjid Agung Banten terltek di Kompleks Banten Lama, sekitar 10 km utara kota Serang. Masjid ini, dibangun sekitar tahun 1522-1570 oleh Sultan Maulana Hasanuddin. Kekhasan bangunan masjid ini adalah atap bangunan yang menyerupai pagoda China. Masjid ini memang memadukan tradisional Jawa dan China."Didalam masjid ini terdapat kompleks makam Sultan-sultan Banten serta keluarganya," papar Alwi Shahab, pemerhati sejarah kepada peserta Melancong Bareng Abah Alwi edisi Menelusuri Jalan Daendels. Abah Alwi, demikian sapaan akrabnya, mengatakan selain arsitekturnya yang khas, bangunan Masjid ini juga memiliki menara setinggi 30 meter. Untuk mencapai ujung menarah, ada 83 anak buah tangga yang harus dilalui. Dari atas menara ini, lanjut Abah menjelaska, pengunjung dapat melihat pemandangan di sekitar Masjid dan perairan lepas pantai."Dahulu selain digunakan tempat mengumandangkan azan, menara yang dbuat oleh Hendick Lucasz Cardeel (Pangeran Wiraguna) ini digunakan sebagai tempat menyimpan senjata," pungkasnya.
Masjid Agung Banten pada kurun 1882-1889. Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda. Dalam Babad Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud. Toleransi umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten tepat di depan muka Benteng Speelwijk.
2.      Masjid Jami Matraman
Sebagai daerah yang pernah diserang Sultan Agung Mataram pada April 1628-Mei 1629 saat memerangi VOC, Jakarta atau Batavia kala itu disebut, menyimpan banyak peninggalan sejarah tentang kebesaran raja Jawa tersebut. Karena itu, tak heran jika sejumlah kesenian ataupun peninggalan bersejarah di Jakarta terselip jejak bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang dulunya terkenal di tanah Jawa dan Nusantara.
Di bidang kesenian misalnya, pengaruh Sultan Agung dapat dilihat dengan keberadaan Wayang Orang Betawi yang merupakan hasil akulturasi budaya Betawi dengan budaya Jawa. Begitu pun di bidang keagamaan, bekas pasukan Sultan Agung Mataram memiliki kontribusi cukup besar dalam pengembangan agama Islam dengan didirikannya Masjid Jami Mataram yang kini berubah nama menjadi Masjid Jami Matraman. Berdirinya Masjid Jami Matraman memang tak lepas dari aktivitas bekas pasukan Sultan Agung Mataram yang menetap di Batavia. Nama wilayah Matraman pun disinyalir karena dahulunya merupakan tempat perkumpulan bekas pasukan Mataram. Untuk menjalankan aktivitas keagamaan bekas pasukan Mataram mendirikan sebuah Masjid di kawasan tersebut. Masjid yang didirikan pada tahun 1837 diberi nama Masjid Jami Mataram yang artinya Masjid yang digunakan para abdi dalem Keraton Mataram. Selain itu, pemberian nama tersebut dimaksudkan untuk menandakan bahwa masjid itu didirikan oleh para bekas pasukan Mataram.
Namun seiring perubahan zaman dan perbedaan dialek, nama Masjid Mataram pun berubah nama menjadi Masjid Jami Matraman. Bahkan, hingga saat ini, Masjid Jami Matraman yang berada di Jalan Matraman, Kelurahan Pegangsaan, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat, ini merupakan salah satu Masjid tertua dan bersejarah di Jakarta yang masih terjaga keasliaannya. Meskipun sejauh ini ada pemugaran pada beberapa bagian gedung yang rusak. Termasuk menambah lantai menjadi 2 lantai, untuk keperluan pendidikan Islam. Di samping menyisakan sejarah bekas pasukan Sultan Agung Mataram, sejarah lain dari Masjid Jami Matraman juga pernah dijadikan tempat pertemuan para pejuang. Bahkan, mantan Presiden Soekarno kala masa perjuangan, menjadikan masjid itu sebagai tempat perkumpulan untuk mengadakan rapat dan menyusun strategi malawan kolonialisme.
Keaslian Masjid Jami Matraman masih terlihat dari bagian depan gedung masjid yang belum pernah direnovasi. Pada jaman dahulu masjid itu merupakan masjid paling bagus di kawasan tersebut, dengan perpaduan gaya arsitektur masjid dari Timur Tengah dan India. Jika dilihat dari depan akan nampak bangunan seperti benteng dan pada dinding tembok mimbarnya dipenuhi dengan tulisan kaligrafi serta terlihat pula bentuk kubah bundar. Pada awal abad 18-an, masjid itu diresmikan oleh Pangeran Jonet (ahli waris Pangeran Diponegoro).
Di dalam Masjid Jami juga masih tersimpan kalender yang terbuat dari kayu bertuliskan bahasa Arab dan angka nasional. Kalender ini biasa digunakan oleh orang Mataram untuk mengetahui hari dan sampai sekarang pun masih digunakan sebagai ciri khas dari Masjid Jami yang punya nilai histori tinggi tersebut. Bukti lain, keterlibatan bekas pasukan Mataram terhadap keberadaan Masjid Jami Matraman dapat dilihat dari keberadaan dua makam milik tentara Mataram yang berada di depan masjid. Konon, kedua makam itu adalah Wanandari dan Wandansari. Namun masih simpangsiur apakah makam itu ada di situ sebelum dibangun masjid atau setelah masjid itu ada. Beberapa pihak yang mengetahui keberadaan makam tua itu, tak jarang menziarahi makam tersebut.
Sekretaris Masjid Jami Matraman, Marjono, mengatakan, mengenai makam yang ada di depan masjid, pernah menjadi perdebatan beberapa tahun lalu. Dalam versi sejarah, makam itu adalah makam milik tentara Matraman, namun ada juga yang mengakui jika itu adalah makam milik nenek moyang terdahulu. “Memang beberapa tahun lalu ada yang mengaku makam tersebut milik anggota keluarganya.

3.      Mesjid di Maluku
Pengaruh Islam hadir di wilayah Kepulauan Maluku setidaknya sejak pungkasan Abad 14, yang ditandai dengan berdiri dan berkembangnya Kerajaan dengan pemerintahan bercorak Islam. Di Wilayah Maluku Utara di kenal empat Kerajaan Islam yang besar dan pengaruhnya yang tersebar luas. Empat Kerajaan tersebut adalah Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Di Wilayah Maluku bagian selatan, dikenal juga kerajaan yang cukup besar pengaruhnya dan perkembangannya sejaman dengan wilayah kerajaan Ternate, yakni Kerajaan Hitu, di bagian utara Pulau Ambon. Perkembangan kerajaan-kerajaan tersebut seiring pula dengan laju gerak niaga yang melibatkan para pedagang asing seperti pedagang Arab, Persia, China, Jawa serta Sumatra. Berkembangnya gerak niaga, dipicu oleh kekayaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah kepulauan Maluku, yakni cengkeh dan pala yang terkenal seantero jagad.
Persentuhan wilayah Maluku dengan budaya Islam dapat dijejaki adanya bukti-bukti peninggalan budaya Islam pada awal persentuhannya hingga masa berkembangnya sebagai agama resmi kerajaan. Di Wilayah Ternate, Tiodre, Bacan dan Jailolo, bukti-bukti peninggalan kerajaan Islam seperti Majid Kuno, Alquran kuno dan berbagai peninggalan lainnya membuktikan bahwa pengaruh budaya Islam di wilayah itu sangat kuat. Dapat dikatakan wilayah Ternate, Tiodre, Jailolo dan Bacan adalah wilayah-wilayah pusat  peradaban Islam. Pada abad 15-16 Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo di Maluku Utara adalah wilayah-wilayah pusat Kerajaan Islam yang pengaruhnya menyebar ke seluruh wilayah Kepulauan Maluku, bahkan hingga ke sebelah barat dan timurnya. Di bagian selatan Maluku, Kerajaan Hitu di Pulau Ambon dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam. Dari wilayah pusat perdaban dan kekuasaan Islam inilah, kemudian dengan cepat berkembang ke wilayah-wilayah lainnya, seiring laju perdagangan serta ekspansi kekuasaan.  
Kerajaan Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan di Maluku Utara, dianggap sebagai pusat kekuasaan Islam, karena di wilayah inilah Islam pertama kali berkembang. Di wilayah Pulau Ambon, Kerajaan Hitu juga dianggap sebagai pusat peradaban dan kekuasaan Islam yang sezaman dengan Ternate. Jika kehadiran Islam dianggap sebagai kekuatan transformatif, telah memberdayakan masyarakat nusantara untuk keluar dari paham-paham primitif, serta dianggap mampu memberikan andil terhadap perubahan penting di bidang sosial dan struktur politik, maka di wilayah Maluku, wilayah-wilayah pusat kekuasaan Islam seperti yang disebutkan diawal, dapat dikatakan mewakili anggapan itu. Pusat-pusat kekuasaan Islam Maluku telah berkembang menjadi daerah kesultanan yang melebarkan sayap kekuasaannya hingga ke ’wilayah-wilayah seberang’.
Sejarah mencatat, Ternate dan Tidore adalah dua kerajaan di wilayah Maluku Utara yang dapat dipresentasikan sebagai wilayah pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara. Ternate, melebarkan sayap ke wilayah selatan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Buru, Seram Bagian Barat dan Tengah. Sementara itu Tidore melebarkan sayap kekuasaannya ke wilayah pesisir utara Pulau Seram dan wilayah kepulauan di sisi paling timur Pulau Seram, yakni Gorom dan Seram laut hingga ke wilayah Kepulauan Raja Ampat Irian Jaya. Kedua wilayah kesultanan itu saling bersaing melebarkan sayap kekuasaannya hingga keluar wilayah geografisnya ke wilayah pulau-pulau diseberang lautan.
Selain pelebaran sayap kekuasaan yang bertendensi politis, kerajaan-kerajaan besar tersebut juga menyebarkan dan mengembangkan paham-paham bertendensi kultural. Salah satunya adalah penyebaran dan pengembangan agama Islam di wilayah-wilayah pelebaran kekuasaan tersebut. Pengislaman ‘wilayah seberang’ kesultanan Ternate, tidak lepas dari peranan pusat kekuasaaan itu sendiri. Oleh karena itu bagian selatan Kepulauan Maluku, meliputi Pulau Ambon, Haruku, Saparua, Seram dan pulau-pulau lainnya, keagamaan Islam menyebar dan berkembang berasal dari wilayah kerajaan di Maluku Utara, terutama Ternate dan Tidore. Dalam hal ini Hitu di Pulau Ambon adalah sebuah pengecualian, karena perkembangan Islam di Hitu sezaman dengan Ternate, bahkan sejarah mencatat Raja Hitu bersama Sultan I Ternate, yakni Zaenal Abidin belajar Islam pada waktu bersamaan di Gresik. Justru, dari pertemuan itu keduanya membangun relasi politik antara Hitu dan Ternate dalam suatu ikatan perjanjian yang mungkin sekali juga tentang penyebaran agama Islam di wilayah masing-masing. Proses pengislaman wilayah-wilayah seberang di wilayah Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, biasanya selain karena ekspansi politik, juga dibarengi dengan agenda-agenda perluasan perdagangan
Jejak-jejak arkeologi atau bukti fisik pengaruh budaya Islam dapat dilihat dengan berbagai bentuk tinggalan budaya Islam masa lampau baik peninggalan kerajaan maupun peninggalan daerah negeri-negeri yang bercorak Islam. Daerah Pusat kekuasaan Islam di wilayah Maluku Utara peninggalan arkeologi yang monumental misalnya istana atau kedaton, masjid kuno, alqur’an kuno dan berbagai naskah kuno lainnya, selain tentu saja berbagai benda pusaka peninggalan kerajaan. Sementara itu, di wilayah Maluku bagian selatan, meskipun tidak berkembang menjadi sebuah kesultanan dengan wilayah kekuasaan yang lebih luas, namun pengaruh Islam dapat dilihat dengan adanya negeri-negeri bercorak keagaaam Islam. Diantara negeri mbergabung menjadi kesatuan adat yang menunjukkan adanya ikatan integrasi sosial yang kuat. Meskipun tidak berkembang menjadi daerah Kesultanan namun negeri-negeri tersebut memiliki pemerintahan dan simbol-simbol kepemimpinan tertentu. Selain itu dapat dijumpai pula beberapa bangunan monumental peninggalan Islam yang tidak jauh berbeda dengan peninggalan yang terdapat di pusat-pusat kekuasaan Islam diantaranya masjid kuno, naskah kuno dan berbagai barang pusaka kerajaan.
Jika di wilayah Maluku Utara terkenal dengan sebutan Moluko Kie Raha, yakni empat kerajaan sebagai pusat kekuasaan Islam yakni Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo, di wilayah Maluku bagian selatan, juga dikenal beberapa wilayah negeri yang juga dikenal dengan sebutan kerajaan, yakni Kerajaan Hitu, sebagai kerajaan dengan wilayah kekuasaan yang paling besar yang selama ini dikenal dalam catatan sejarah. Ada pula kerajaan Hoamoal, di wilayah Seram Bagian Barat, yang juga tersiar dalam berbagai penulisan sejarah sebagai wilayah kerajaan Islam yang memiliki periodesasi yang sama dengan Kerajaan Hitu, dan bahkan menjalin kerjasama dalam rangka mengikis hegemoni kolonial. Di Pulau Haruku, terdapat persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw, Kailolo, Kabauw, Hulaliu dan Rohomoni yang disebut sebagai Amarima Hatuhaha, masing-masing juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha yang berpusat di desa Rohomoni.
Di Pulau Saparua, terkenal dengan kerajaan Iha dan Honimoa (Siri Sori Islam), sebagai dua kerajaan Islam yang cukup berpengaruh di wilayah itu sehingga dikenal sebagai sapanolua artinya sampan dua atau perahu dua yang dimaksudkan ialah pulau Saparua mempunyai dua Jasirah yang besar yang diatasnya berkuasa dua orang raja dengan tanahnya yang sangat luas itu disebelah utara Raja Iha dengan kerajaanya dan di sebelah tenggara Raja Honimoa (Sirisori dengan Kerajaannya).
Beberapa catatan sejarah menyebutkan, di wilayah Maluku, Islam hadir karena penyebaran yang berasal dari Ternate. Jaffaar (2006) menuliskan, Islam adalah salah satu faktor ikatan integrasi, oleh karena itu daerah-daerah yang telah menerima Islam, seperti Hoamoal (Seram Barat), Saparua, Haruku dan sebagainya, menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan, bagian dari kesultanan Ternate (Jaffaar, 2006:55). Dapat disimpulkan kehadiran Islam di beberapa daerah di bagian selatan Kepualuan Maluku atau daerah Propinsi Maluku tak dapat dilepaskan dari gerakan Islamisasi dan ekspansi kekuasaan oleh Kesultanan Ternate.  Meski demikian, Islam terbukti telah menjadi salah satu faktor ikatan integrasi, oleh karena itu daerah-daerah yang telah menerima Islam, menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan, bagian dari kesultanan Ternate.
Islam, sebagai agama maupun kultur merupakan media ikatan integrasi, terbukti telah menyatukan berbagai negeri dalam satu ikatan kekuasaan politik dan kultural. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, wilayah-wilayah yang menerima Islam, secara otomatis juga mengakui kekuasaan kerajaan besar penyebar Islam. Daerah-daerah di wilayah bagian selatan Kepulauan Maluku baik sebagai kerajaan maupun negeri menyatakan menerima Islam sekaligus menempatkan dirinya sebagai daerah kekuasaan bagian dari kekuasaan Kerajaan Ternate ataupun Tidore. Dapat dijelaskan pula, daerah-daerah Islam di bawah kekuasaan kerajaan Hitu di Pulau Ambon, merupakan negeri-negeri Islam yang memiliki pemerintahan adat sendiri, namun mengakui Hitu sebagai kerajaan Islam yang merupakan induk dari wilayah Islam lainnya di jazirah Leihitu Pulau Ambon, bahkan pengaruhnya kemungkinan juga menyebar ke wilayah pulau-pulau lainnya.
Di Hitung, terdapat peninggalan mesjid Kuno yang tinggal puing-puing pondasi saja, dinamakan mesjid Tujuh Pangkat. Menurut Hikayat Tanah Hitu penamaan masjid tujuh pangkat diberikan oleh Empat Perdana Hitu berdasarkan tujuh negeri yang menjadi wilayah Hitu pada masa itu. Penyebutan mesjid Tujuh Pangkat ini juga secara arkeologis dibuktikan dengan tujuh susunan batu yang sisa-sisanya masih ada. Di Pulau Haruku, terdapat persekutuan 5 (lima) negeri atau desa Islam yakni Negeri Pelauw, Kailolo, Kabauw, Hulaliu dan Rohomoni yang disebut sebagai Amarima Hatuhaha, masing-masing juga memiliki pemerintahan otonom, namun menyatukan diri dalam persekutuan negeri-negeri Islam yang disebut Amarima Hatuhaha yang berpusat di desa Rohomoni. Dari kelima negeri itu, hanya Hulaliu yang saat ini merupakan desa Kristen. Hal ini merupakan salah satu pengaruh dari hegemoni Kolonial yang snagta kuat baik secara politik maupun kultur. Bukti arkeologis menyatunya kekerabatan Amarima Hatuhaha ini yakni dengan dibangunnya masjid kuno yang dinamai Masjid Uli Hatuhaha. Demikian juga di Kepuluan Gorom, sebagai wilayah penyebaran Islam yang berasal dari Kerajaan Tidore.
Di wilayah ini terdapat 3 (tiga) negeri atau kerajaan kecil yang berpemertintahan otonom namun menyatakan diri sebagai wilayah dari persekutuan 3 (tiga) wilayah negeri sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan yakni Negeri Kataloka, Ondor, dan Amar Sekaru yang merupakan negeri-negeri adat bercorak Islam. Ketiga wilayah kerajaan kecil itu, menerima Islam dan mengakui sebagai bagian dari kekuasaan Kerajaan Tidore. Demikian pula di Pulau Saparua, terdapat Kerajaan Islam Iha, yang juga merupakan gabungan negeri-negeri sebagai satu kesatuan politik dan budaya.
Dengan demikian, penerimaan keagamaan Islam secara resmi oleh pemerintah dalam hal ini kerajaan ataupun negeri telah menandai bersatunya beberapa pemerintahan otonom dalam persekutuan pemerintahan yang secara politis mengakui adanya satu wilayah tertentu sebagai induk atau pusat pemerintahan. Bukti-bukti arkeologi atau peninggalan budaya materi hingga saat ini masih dapat ditemukan dan dapat menjadi petunjuk paling berharga untuk melihat bagaimana identitas sosial masyarakat dalam dinamika keagamaan pada masa pengaruh Islam mulai masuk hingga masa terbentuknya kerajaan atau kesultanan dengan corak pemerintahan Islam. Sejurus dengan itu kemudian menjadi agama resmi kerajaan hingga menjadi anutan masyarakat hingga menjelang kolonial masuk, seterusnya pada masa hegemoni kolonial dan masa hengkangnya dari bumi Maluku.
Di wilayah Maluku bagian selatan, dapat disebutkan beberapa daerah yang pada masa lalu berdiri kerajaan Islam meskipun tidak berkembang menjadi daerah kesultanan seperti halnya di wilayah Maluku Utara. Saat ini merupakan desa-desa atau negeri -negeri bercorak Islam. Beberapa negeri itu dapat ditemui atau memperlihatkan beberapa corak keislaman yang berbeda. Beberapa tinggalan arkeologi yang dapat ditemui hingga sekarang juga dapat memberi gambaran, betapa budaya Islam dari awal hadirnya hingga perkembangannya saat ini sangat dinamis. Seperti yang telah dijelaskan di awal pula, kemungkinan dapat ditemui berbagai perbedaan karaktersitik Islam antara daerah-daerah perluasan kekuasaan dengan daerah-daerah pusat Islam yang dapat dianggap mewakili kemapanan Islam dalam hal kekuasaan, politis maupun secara kultural.
Secara arkeologis bukti-bukti kemapanan Islam dapat ditelusuri di wilayah bekas Kerajaan Hitu. Dapat dikatakan pada wilayah bagian selatan kepulauan Maluku, kerajaan Hitu adalah sebuah wilayah dengan keagamaan dan budaya Islam yang paling kuat dan paling mapan. Daerah ini selama ini memang dianggap sebagai wilayah kerajaan Islam di Pulau Ambon yang kekuasaan dan keislamannya sejajar dengan Ternate. Di wilayah ini ditemukan bekas Masjid Kuno Tujuh Pangkat, yang dibangun diatas bukit bernama Amahitu. Selain bekas masjid kuno ditemukan juga naskah alquran kuno dan naskah kuno lainnya, pucuk mustaka masjid kuno, mahkota raja, kompleks makam raja, penanggalan Islam kuno, timbangan zakat fitrah dan lain-lain (Handoko, 2006; Sahusilawane 1996). Dari data arkeologi ini dapat menggambarkan bahwa kerajaan Hitu merupakan wilayah kerajaan dengan corak budaya Islam yang kuat. Sejauh ini tidak ditemui bukti-bukti baik secara arkeologis maupun laku budaya hidup yang menunjukkan budaya Islam bercampur baur dengan budaya non Islami.
Dengan kata lain, setidaknya budaya Islam yang berkembang di wilayah Hitu, sejauh ini tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok dengan daerah pusat penyebaran Islam lainnya. Laku budaya yang ada juga lazim ditemui di daerah lain, misalnya tradisi berziarah ke makam para Raja Hitu, merupakan kegiatan yang lazim sebagaimana daerah lainnya seperti tradisi ziarah ke makam para wali di Jawa. Selain itu di desa Kaitetu, yang pada masa kerajaan merupakan salah satu daerah kekuasaaan Hitu, sampai sekarang masih berdiri kokoh Masjid Tua Keitetu yang konon dibangun pada tahun 1414 M. Selain itu juga tersimpan naskah alquran kuno, kitab barjanzi, naskah penanggalan kuno dan sebagainya. Bukti-bukti arkeologis ini menunjukkan kemapanan Islam di wilayah tersebut. Dapat dilihat bahwa penyebaran Islam di wilayah ini berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam seperti dalam hal dakwah. Di wilayah Kerajaan Hitu misalnya, sangat mungkin naskah alquran kuno merupakan bukti atau untuk media sosialisasi Islam (Handoko, 2006), begitu juga kitab barzanji, naskah hukum Islam dan penanggalan Islam kuno. Data arkeologi ini dapat mewakili gambaran kebudayaan Islam di wilayah pusat-pusat peradaban Islam yang mapan keIslamannya, seperti halnya di wilayah Maluku Utara yang diwakili terutama kerajaan Islam Ternate dan Tidore.
4.      Masjid Tertua Bercorak Tionghoa
Masjid Jami Kalipasir, Tangerang, berada di tengah pemukiman penduduk keturunan Tionghoa. Memiliki bangunan bercorak etnis China, masjid ini disebut sebagai yang tertua di wilayah Tangerang, Banten. Letak masjid sendiri berada di sebelah timur bantaran kali Cisadane. Persis di tengah pemukiman warga RT: 02/04, Kelurahan Sukasari. Masjid yang memiliki luas sekitar 16x18 meter persegi itu dibangun pada tahun 1700 M oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon. Dikisahkan, kedatangan Tumenggung Pamit Wijaya dalam rangka syiar Islam dari Kesultanan Cirebon ke wilayah Banten.
Namun dalam perjalanannya, Tumenggung Pamit, singgah di Tangerang dan mendirikan sebuah masjid. Uniknya, masjid dibangun bersebelahan dengan Klenteng Boen Tek Bio yang saat itu sudah berdiri tegak. Klenteng itu berjarak sekitar 100 meter dari masjid. Walau begitu, kerukunan antara umat tetap terjaga sampai sekarang."Cerita yang sampai pada kami, masjid Kalipasir dibangun oleh Tumenggung Pamit Wijaya dari Kahuripan Cirebon," kata H. A. Sjairodji, ketua DKM Masjid Jami Kalipasir. Menurut Sjairodji, mengenai sosok Tumenggung Pamit Wijaya beserta masjidnya belum tergali secara dalam.
Saat ini, kondisi masjid sudah mengalami banyak perubahan. Hanya dua sisi arsitektur yang masih tetap utuh dipertahankan. Yakni empat tiang di dalam masjid dan kubah kecil bermotif China diatas masjid. Tiang tersebut terbuat dari kayu dan tampak mulai keropos, sehingga harus disanggah dengan sejumlah besi. Sisi lain yang memperkuat nuansa China adalah dominasi warna kuning dan hijau dalam bangunan masjid itu.
Dia mengungkapkan, selanjutnya masjid diurus oleh putra Tumenggung Pamit Wijaya, yakni Raden Uning Wiradilagi Kuripan Bogor, pada tahun 1712. Setelah itu, pada 1740 cucu Tumenggung Pamit Wijaya, Tumenggung Aria Ramdon menjadi Aria Gerendeng II yang menggantikan Maulana Syarif. Pada perkembangannya, kepengurusan masjid dilanjutkan oleh putra Tumenggung Aria Ramdon, yakni Tumanggung Aria Sutadilaga tahun 1780. "Menurut catatan yang ada, pengangkatan Tumanggung dilakukan dengan cara biscuit VOC pada 16 Februari 1802-1823. Cara pengangkatan tersebut mirip dengan pemberian SK pada jaman sekarang ini," terang Sjairodji.
Kemudian berlanjut pada 1830 diurus oleh Raden Aria Idar Dilaga. Raden Aria ini yang terakhir diangkat dengan cara biscuit gouverneur general atau komisaris general di Bogor tanggal 14 februari 1827. "Kami sendiri belum bisa memahami adanya keterangan pengangkatan dengan cara tersebut," ujarnya.Namun pada tahun 1865, kepengurusan masjid dilakukan seperti biasa, oleh putri Idar Dilaga, yakni Nyi Raden Djamrut dan suaminya Raden Abdullah sampai tahun 1904. Setelah masa itu, putra Nyi Djamrut, yakni Raden Jasin Judanegara membangun menara dan melakukan rehabilitasi.
Kemudian pada 1918, bagian dalam masjid juga dilakukan perbaikan, bukan hanya oleh Jasin Judanegara, tetapi juga oleh H. Muhibi dan H. Abdul Kadir Banjar."Pada 24 April 1959 sampai Agustus 1961, menara lama diperbaiki dan dirombak selesai pada 1961 hingga sampai sekarang," terang Sjairodji yang juga masih keturunan H. Abdul Kadir Banjar.Sejarah yang tidak bisa dilupakan pula adalah kehaditran Hj. Murtapiah yang mengasuh pesantren perempuan bukan hanya di Tangerang, tetapi juga Banten dan Jawa Barat. Sampai sekarang, beliau ditokohkan di kawasan tersebut. Apa saja kegiatan yang dilakukan di Masjid Jami Kalipasir? Sjairodji mengungkapkan sama seperti masjid lainnya, sebagai tempat ibadah dan pengajian. Termasuk juga pada bulan puasa ini. Hanya saja, pada peringatan Maulid Nabi, warga sekitar membuat perahu besar di kali Cisadane. “Pesan yang ingin disampaikan adalah mengingat dakwah Islam yang dulu pernah dilakukan melalui pesisir pantai oleh para mebaligh,” ujarnya.
5.      Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta
Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta, masjid tertua yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I, merupakan persembahan khusus Sultan kepada kaum duafa.Di bagian sisi selatan masjid bergaya tradisional Jawa ini, terdapat fasilitas mandi dan mencuci untuk kaum duafa yang tidak memiliki tempat tinggal. "Sultan ingin melihat rakyatnya hidup layak. Bahkan, ketika mereka tinggal di sana, kebutuhan makanan pun akan dipenuhi oleh masjid," kata Sekretaris I Masjid Gedhe Kauman HM. Julianto Supardi.
Selain membangun fasilitas bagi kaum duafa, di seputaran masjid juga dibangun fasilitas bagi pengurus masjid. Para ulama, khotib, serta abdi dalem diberi fasilitas perumahan di sekitar masjid yang diberi nama Kauman, yang berarti "tempat para kaum". Sedangkan untuk penghulu keraton dan keluarga Sultan menyediakan perumahan di sisi utara yang dinamakan Pengulon.
Dari bentuk arsitektur, masjid Gedhe Kauman memiliki keunikan khas yang tidak dimiliki masjid lainnya. Masjid yang dibangun pada 1773 ini tidak memiliki kubah tetapi memiliki mustaka berbentuk daun kluwih dan gadha yang ditopang oleh tiang-tiang dari kayu jati Jawa. Atap masjid yang bersusun tiga ini bernama Tajuk Lambang Teplok.
Atap masjid yang bertingkat itu memiliki filosofi tentang tiga tingkatakan mencapai kesempurnaan hidup, yakni hakekat, syariat dan marifat, papar Julianto yang juga menyebutkan dinding dari batu putih dan lantai dari batu hitam sebagai keunikan masjid.
Komplek Masjid Gedhe Kauman secara keseluruhan memiliki luas 16.000 meter persegi. Masjid ini mempunyai dua bagian utama, ruang salat utama dan serambi Al Makalah Al Kabiroh. Ada juga Pagongan di sebelah utara dan selatan halaman luar masjid yang merupakan tempat gamelan. “Setiap bulan Maulid tiba, gamelan ini akan dimainkan mengiringi dakwah para ulama,” jelas Julianto.
"Jamaah yang datang ke masjid ini diharapkan dapat berbuat baik kepada sesama. Harapan ini sudah muncul ketika pengunjung menginjakkan kaki di depan pintu gerbang masjid," katanya. Gerbang yang dikenal dengan nama Gapuro ini berbentuk Semar Tinandu yang melambangkan seorang punakawan yang tugasnya mengasuh, menjaga, dan memberi teladan yang baik.
6.      Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Masjid Agung Sang Cipta Rasa (dikenal juga sebagai Masjid Agung Kasepuhan atau Masjid Agung Cirebon) adalah sebuah masjid yang terletak di dalam kompleks Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, Indonesia. Konon, masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon, yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M atau semasa dengan Wali Songo menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Nama masjid ini diambil dari kata "sang" yang bermakna keagungan, "cipta" yang berarti dibangun, dan "rasa" yang berarti digunakan.
Menurut tradisi, pembangunan masjid ini dikabarkan melibatkan sekitar 500 orang yang didatangkan dari Majapahit, Demak, dan Cirebon sendiri. Dalam pembangunannya, Sunan Gunung Jati menunjuk Sunan Kalijaga sebagai arsiteknya. Selain itu, Sunan Gunung Jati juga memboyong Raden Sepat, arsitek Majapahit yang menjadi tawanan perang Demak-Majapahit, untuk membantu Sunan Kalijaga merancang bangunan masjid tersebut.
Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari dua ruangan, yaitu beranda dan ruangan utama. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon. Kekhasan masjid ini terletak pada atapnya yang tidak memiliki memolo berupa kubah, sebagaimana yang lazim ditemui pada atap masjid-masjid di Pulau Jawa. Konon, dahulunya masjid ini berkubah. Namun, saat azan pitu (tujuh) salat Subuh digelar untuk mengusir Aji Menjangan Wulung, kubah tersebut pindah ke Masjid Agung Banten yang sampai sekarang masih memiliki dua kubah. Karena cerita tersebut, sampai sekarang setiap salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa digelar Azan Pitu. Yakni, azan yang dilakukan secara bersamaan oleh tujuh orang muazin berseragam serba putih.
Pada bagian mihrab masjid, terdapat ukiran berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga. Selain itu, di bagian mihrab juga terdapat tiga buah ubin bertanda khusus yang melambangkan tiga ajaran pokok agama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Konon, ubin tersebut dipasang oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga pada awal berdirinya masjid. Di beranda samping kanan (utara) masjid, terdapat sumur zam-zam atau Banyu Cis Sang Cipta Rasa yang ramai dikunjungi orang, terutama pada bulan Ramadhan. Selain diyakini berkhasiat untuk mengobati berbagai penyakit, sumur yang terdiri dari dua kolam ini juga dapat digunakan untuk menguji kejujuran seseorang.




BAB III
A.    KESIMPULAN
Nusantara merupakan wilayah yang kaya akan keberagaman, baik dari segi bahasa, agama, suku, adat istiadat dll. Dari keaneka ragaman tersebut Nusantara menjadi wilayah yang sangat diminati untuk dikunjungi, sehingga banyak sekali orang-orang dari luar yang berkunjung ke tanah syurga ini. Bahkan pendatangpun banyak yang menetap dan menikah dengan warga sekitar ataupun sebaliknya orang Nusantara yang pergi ke luar dan menikah disana. Dari keanekaragaman inilah kemudian terjadi berbagai akulturasi antar bangsa yang bisa berdampak pada seni terutama pada bidang arsitektur, maka jangan heran kalau Mesjid di Indonesia memiliki corak yang berbeda.
Mesjid digunakan sebagai tempat Shalat, tidak hanya itu mesjid juga sangat membantu sebagai sarana dakwah yang sifatnya formal.dengan adanya masjid maka masyarakatpun akan melihat dan merasa penasaran sehingga mau untuk memasukinya. Dari sanalah syiar Islam terus berjalan.










B.     PENUTUP
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil alamin akhirnya penulis berhasil menyelesaikan laporan hasil penelitian di daerah Banten Lama, lebih tepatnya di keraton Surosowan dan sekitarnya. Walaupun hasilnya jauh dari sempurna akan tetapi penulis mencoba untuk mencurahkan pengetahuannya mengenai bahasan diatas dengan bahan yang serba apa adanya.
Walaupun demikian semoga hasil analisis berupa laporan ini berguna bagi pembaca dan menjadi bekal di ilmu dimasa yang akan dating. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar penulis bisa lebih piawai lagi dalam menulis karya ilmiah, karena penulis adalah manusia biasa yang tidak pernah luput dari kesalahan, marilah kita saling melengkapi untuk hasil yang lebih baik lagi. Akhir kata.
Wallahul Muwafiq Ila Aqwwamit thariq
Wassalamualaikum warrohmatullahi wabarokatuh.  


Bandung 16 Januari 2012

  Penulis






REFERENSI

1.      Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.
2.      Azyumardi Azra, (2004), The origins of Islamic reformism in Southeast Asia: networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulamā' in the seventeenth and eighteenth centuries, University of Hawaii Press, ISBN 0-8248-2848-8.
3.      Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-409-8
4.      Ricklefs, M. C., A History of Modern Indonesia since c. 1200, 2008
5.      Drs. Heri Jauhari. M. Pd., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. CV PUSTAKA SETIA 2007, ISBN: 978-979-730-908-4.
6.      Lubis, H, Nina, Dr. Hj. M.S. Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda. 2000. Humaniora Utama Press, Bandung.
7.      Bayu Dwi Mardana, Kantor Administrasi dan Meseum Tamansari Gua Sunyaragi - Cirebon, Sinar Harapan 2003.
8.      R. Supriyanto, Jurusan Desain Komunikasi Visual,Fakultas Desain dan
Seni,UNIKOM, 2004, Digital Library ITB







Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. INFORMASI PENGETAHUAN - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template | Distributed By: BloggerBulk
Proudly powered by Blogger