HUKUM PAJAK
HUKUM PAJAK
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Undang–undang nomor 14
tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak merupakan suatu perangkat dan sarana hukum
yang disediakan untuk menyelesaikan adanya sengketa perpajakan antara pembayar
pajak dengan aparat pajak. Ditinjau dari struktur dan muatan pada undang-undang
tersebut terasa adanya ketidak seimbangan posisi antara para wajib pajak
pencari keadilan dengan petugas pajak dalam hal terjadinya sengketa perpajakan.
Ada tiga hal yang akan dibahas dalam tulisan ini dalam kaitannya dengan teori hukum.
Ketiga hal tersebut adalah satu dari segi bentuk formal pengadilan pajak yang
berada di bawah kewenangan hukum eksekutif, dan kedua dari segi substansi
dimana pengadilan pajak tidak mengenal upaya banding untuk memberi kesempatan
para pencari keadilan menemukan kebenaran hakiki, serta yang ketiga adalah
adanya kewajiban bagi para pencari keadilan untuk menyetor terlebih dahulu
sejumlah 50% dari nilai uang yang dipersengketakan kepada Pemerintah sementara
sengketa tersebut akan diperiksa.
Hukum yang adil adalah hukum
yang memberi ruang kepada para pencari keadilan untuk didengar dan
dipertimbangkan keberatan-keberatannya manakala hak-haknya dilanggar orang lain
atau kepadanya dibebankan suatu kewajiban melebihi yang sepatutnya diembannya.
Hukum yang adil adalah juga hukum yang memihak secara seimbang kepada keadilan,
dan yang dari semula dikonstruksikan memberikan kesempatan yang sama kepada
para pihak untuk mempertahankan dan membela hak-haknya.
Masyarakat akan
mentaati okum manakala hukum tersebut mencerminkan perasaan keseimbangan dan
keadilan serta merupakan sublimasi dari kesadaran hukum rakyat secara umum,
demikian antara lain yang dikenal dalam doktrin teori kedaulatan hukum.
Sengketa perpajakan
pada dasarnya adalah sengketa antara individual atau badan hukum privat dengan
birokrat okum_. Mengingat birokrat hukum_ dilengkapi dengan hukum_e hukum yang
memaksa dan hukum yang mengatur, sementara individual atau badan hukum privat
hanya berada dalam kondisi yang praktis objektif dalam posisi lebih lemah untuk
membela diri terhadap suatu beslit penetapan perpajakan, maka adalah penting
dibuka saluran-saluran pencarian keadilan bagi masyarakat. Saluran atau sarana
pencarian keadilan tersebutlah yang sesungguhnya mengembalikan posisi masyarakat
hukum ekuilibrium dan pendulum tengah, mana kala dia sebagai warga atau kawula
berhadapan dengan Pemerintah.
Negara, berdasarkan
legitimasi hukum yang diperolehnya serta melalui saluran perangkat demokrasi
yang ada, dimungkinkan untuk membuat undang-undang atau peraturan yang mengikat
kepada seluruh masyarakat untuk tetap tegaknya kekuasaan tersebut. Namun
demikian adalah penting senantiasa mencari dan merumuskan hukum, termasuk
perundang-undangan di dalamnya yang memberi nyawa sebagai perwujudan values
atau nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat, sehingga hukum yang demikian
dikenal sebagai hukum yang hidup (the living law).
Suatu hukum yang adil
dalam pengertian yang lebih luas, dan perikatan dalam pengertian yang lebih
spesifik dan sempit hendaknya dapat mencapai keseimbangan antara kepentingan
sendiri dan kepentingan terkait dengan pihak lawan.
B.
Identifikasi Masalah
Melihat
pemaparan uraian diatas maka penyusun mengajukan beberapa permasalahan
diantaranya:
- Bagaimana tinjauan teoritis badan peradilan pajak?
- Bagaimana eksistensi pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia?
C.
Tujuan Masalah
Makalah
yang diajukan penyusun sebagaimana papararan yang akan di kemukkan mempunya
berapa tujuan diantaranya:
- Mengetahui bagaimana tinjauan teoritis badan peradilan pajak?
- Mengetahui bagaimana eksistensi pengadilan pajak dalam sistem peradilan di Indonesia?
- Menambah wawasan keilmuan tentang perpajakan khususnya di bidang peradilan tentang pajak
D.
Metode Penulisan
DalAM
peroses penyusunan makalah ini digunakan metote tinjauan pustaka, dengan
mengambil data-data dari berbagai literature yang berkaitan dengan pembahasan, dan
sedikit di diskusikan dengan kawan-kawan
sehingga bias dijadikan acuan dalam pembuatan maklah.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI BADAN PERADILAN PAJAK
A.
Badan Peradilan Di Indonesia
Negara Indonesia adalah Negara hukum
yang berdasarkan kepada pancasila dan undang-undang dasar 1945. Yang bertujuan
mewujudkan masyarakat adil dan makmur baik itu materil maupun spiritual. Setiap
Negara yang berdasarkan atas hukum menurut M. scheltema sebagaimana dikutip
oleh bagir Manan, mempunyai empat asas utama, yaitu:[1]
1.
asas kepastian hukum
2.
asas persamaan
3.
asas demokrasi
4.
asas bahwa pemerintah dibentuk untuk
melakukan pelayanan masyarakat
Negara
Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila, bertujuan mencapai
masyarakat yang adil, makmur dan merata, baik materill maupun spirituil. Negara
Indonesia tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat saja, akan
tetapi lebih luas dari pada itu. Negara berkewajiban turut serta dalam hampir
semua sektor kehidupan dan penghidupan masyarakat. Konsep negara hukum yang
diadopsi oleh negara hukum Pancasila (Indonesia) adalah negara kesejahteraan (welfare
state). Ajaran negara hukum inilah yang kini dianut oleh sebagian besar
negara-negara didunia. Konsep negara hukum muncul sebagai reaksi atas konsep
negara legal state atau konsep negara penjaga malam (nachtwakerstaats).
Konsep negara ini memberikan batasan turut campurnya negara dalam bidang
poltik, ekonomi dan sosial, sehinga oleh karenanya pemerintah atau administrasi
negara menjadi pasif dalam menjalankan fungsi pemerintahannya (executive
functions). Ciri utama dari konsep negara kesejahteraan (welfare state)
adalah kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya.[2]
Turut
sertanya pemerintah dalam hampir semua sektor kehidupan dan penghidupan itu
telah ditetapkan sebagai tujuan negara Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam
alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang berbunyi sebagai berikut : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.”
Salah
satu persoalan pokok negara hukum adalah persoalan kekuasaan,utamanya persoalan
kewenangan atau wewenang. Dalam kepustakaan ilmu negara, asal usul kekuasaan
selalu dihubungkan dengan kedaulatan (souvereignity atau souvereigniteit).
Kedaulatan merupakan sumber kekuasaan tertinggi bagi negara yang tidak berasal
dan tidak berada dibawah kekuasaan lain.[3]
Dalam
kepustakaan ilmu negara terdapat beberapa teori tentang kedaulatan, antara
lain, teori kedaulatan Tuhan, teori kedaulatan raja, teori kedaulatan rakyat,
teori kedaulatan negara dan teori kedaulatan hukum. Indonesia sendiri
mengadopsi dua teori kedaulatan, yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum.
Hal ini dapat kita temukan dasar hukumnya dalam Undang-Undang Dasar 1945
(perubahan ketiga) Pasal 1 ayat (2), yang berbunyi “kedaulatan berada ditangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, dan dalam Pasal 1 ayat
(3) “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Menurut teori kedaulatan rakyat, kekuasaan
negara harus dibatasi dan dikontrol oleh rakyat secara demokratis melalui
kemauan umum (volonte generale), baik dalam bentuk partisipasi aktif
(langsung) ataupun secara perwakilan. Sedangkan menurut teori kedaulatan hukum,
negara pada prinsipnya tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat),
tetapi berdasarkan atas hukum atau rechtsstaat.[4]
Negara
hukum harus didasarkan atas hukum yang baik dan adil. Hukum yang baik adalah
hukum yang demokratis yang didasarkan atas kehendak rakyat sesuai kesadaran
hukum rakyat, sedangkan hukum yang adil adalah hukum yang sesuai dan memenuhi
maksud dan tujuan setiap hukum, yaitu keadilan.[5]
Negara
hukum dan kedaulatan hukum ibarat dua sisi mata uang, satu sama lain tidak
terpisahkan. Suatu negara belum dapat dikatakan sebagai negara hukum apabila
negara tersebut tidak memiliki kedaulatan hukum. Dalam konsep rechtsstaat,
hukum adalah panglima tertinggi.
Lembaga peradilan adalah pelaku
kekuasaan kehakiman yang terdiri atas badan-badan peradilan yang berpuncak pada
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keberadaan lembaga peradilan ini untuk
menyelenggarakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Hukum dan keadilan tidak dapat
dipisahkan mengingat keadilan adalah tujuan utama dari hukum. Perkembangan
sosial kemasyarakatan mengakibatkan semakin kompleksnya permasalahan hukum yang
dihadapi masyarakat. Perkembangan tersebut berpengaruh terhadap organisasi dan
proses di lembaga peradilan, yang secara umum dapat disebut sebagai
administrasi lembaga peradilan. Administrasi peradilan meliputi tata kelola
lembaga peradilan yang bersentuhan secara langsung dengan masyarakat dan tata
kelola yang memberikan layanan dan dukungan terhadap kinerja hakim dalam
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
B.
Landasan teoretis perpajakan dan
pengadilan pajak Serta Landasan teoretis pemajakan
Pemajakan pada dasarnya
adalah perwujudan dari keseimbangan prestasi dan kontraprestasi yang sifatnya
tidak langsung antara pembayar pajak dengan negara atau aparaturnya sebagai
pemungut pajak. Pajak timbul dari bertambahnya kemampuan ekonomis, atau adanya
kekayaan maupun transaksi yang memenuhi syarat objektif untuk dikenai pajak.
Premis dasar dari timbulnya objek pajak tersebut adalah karena adanya
kontribusi dari negara baik dalam bentuk penyediaan prasarana, sarana bertransaksi
atau perlindungan hukum sehingga transaksi dan penambahan kemampuan ekonomis
dapat tercipta. Kontribusi dari negara tersebut dapat diartikan sebagai
prestasi negara, dan untuk itulah seseorang atau badan hukum yang menikmati
prestasi negara tersebut memberikan kontraprestasi berupa pajak. Jadi dengan
perkataan lain, apabila tidak ada kontribusi dari Negara baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk terciptanya objek pajak, maka tidak ada juga
landasan objektif bagi negara untuk memungut pajak. Adapun landasan
subjektifnya akan tetap ada yaitu berkaitan dengan fungsi pengayoman dari pada
negara kepada para warganya, untuk mana diperlukan biaya yang dipungut dari
partisipasi masyarakat.
a.
Teori Asuransi
Warga negara yang mendapat perlindungan
negara membayar pajak yang dianalogkan sebagai premi asuransi atas jaminan
perlindungan tersebut.
b.
Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak proporsional
dengan kepentingan atau jaminan yang diberikan oleh negara
c.
Teori daya pikul
Beban pajak disesuaikan dengan daya
pikul masing-masing, baik secara objektif yaitu penghasilan atau kekayaan yang
dimiliki seseorang maupun secara subjektif yaitu berkenaan dengan besarnya
kebutuhan materi yang harus dipenuhi.
d.
Teori bakti
Sebagai warga negara yang berbakti,
rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak adalah sebagai kewajiban
e.
Teori asas daya beli
Negara mengurangi atau menarik daya beli
dari rumah tangga masyarakat, dan mengumpulkannya ke rumah tangga negara yang
selanjutnya menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan
kesejahteraan masyarakat.
Dari kelima teori yang
lazim tersebut di atas, menurut penulis teori keempat yaitu teori bakti sama
sekali mengingkari premis dasar pemajakan sebagai muara dan kulminasi
keseimbangan antara prestasi yang diberikan negara dan kontraprestasi yang
diberikan oleh masyarakat. Teori tersebut dapat dipandang sebagai cerminan
arogansi penguasa yang merasa bahwa secara alami dan ditakdirkan memang pada
hakekatnyalah kawula itu berbakti tanpa perlu meminta akuntabilitas yang
seimbang dari penguasa. Pengingkaran atau pengesampingan atau pengabaian
semangat akuntabilitas sampai pada tingkat tertentu tercermin dalam landasan
undang-undang pengadilan pajak yang menurut hemat penulis kurang memberi
kesempatan yang seimbang (an equal level of playing field) bagi pembayar
pajak dalam hal adanya sengketa pajak dengan penguasa atau negara. Bahkan
pembayar pajak, atau yang sebutan universalnya adalah tax payer, dalam khasanah
peraturan perundang-undangan di Indonesia malah diterjemahkan sebagai wajib
pajak. Penyebutan wajib pajak mengkonotasikan kiblat yang lebih berat kepada
teori bakti, sedangkan kalau disemangati keempat teori lainnya, sebutan tax
payer itu harusnya diterjemahkan adalah pembayar pajak.
C.
Landasan yuridis pengadilan pajak
Konotasi pengertian
dari pengadilan pajak adalah karena adanya sengketa, atau beda pendapat dan
tafsir baik atas pemahaman, penerapan maupun akibat dari suatu penerapan
ketentuan perpajakan. Pencarian keadilan dalam perpajakan pada prinsipnya dalam
doktrin-doktrin klasik memang tetap dimungkinkan.
Prinsip yang harus menjadi pegangan
tersebut antara lain adalah:
a. Prinsip kesamaan/ keadilan (equity)
Beban
pajak harus mencerminkan kemampuan relatif pembayar pajak
b. Prinsip kepastian (certainty)
Pengertian
pemahaman harus tegas, pasti dan tidak memberikan multi tafsir
c. Prinsip kelayakan (convenience)
Pemungut
pajak tidak harus melakukan penekanan (coerciveness) kepada pembayar
pajak
d. Prinsip economy (economy)
D.
Peradilan dalam Hukum Pajak
Dalam membicarakan
tentang hubungan antara hukum pajak dan hukum pidana telah kita keahui,
bahwa sebagian peradilan dalam hukum
pajak, yaitu peradilam pidananya7, ternyata ada ynag
diselenggarakan oleh hakim pidana biasa
Dalam huku pajak kta kenla dengan dua
hukuman, yaitu:
a.
Hukum Administrasi (tata Usaha)
Hukuman administrasi yang memberikan Fiksus sendiri
dan umumnya terdiri atas tambahan atas oajak yang terutang seperti yang
ditetapkan dlam Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 Pasal 11 Ayat 2 dan Ordonansi
Pajak Perseroan pasal 23 ayat 1 tentang tidak memenuhi kewajiban memasukan
surat pemberitahuan , dan dalam Ordonansi PPd pasal 14 d, Ordonansi PPs pasal 3
ayat 1 tentnag tambahan dalam hal tuntuan kemudian. Tidak menyampaikan SPT
Pajak Penghasilan 1948 diancam degan pidana denda atau pidana penjara ( pasl 38
dan 39 UUD Ph 84)
b.
Hukum Pidana atau stafrechtelijk
Hukum
pidan yang menjatuhkan hakim, dam dapat berupa sejumlah uang ataupun suatu
hukuman penjara, bergantung beratnya peristiwa yang dapat dikenakan hukuman.
Yang dapat diajukan diajukan di muka hakim ialah perbuatan yang
dikualifikasikan sebagai kejahatan, dan harus dengan nyata-nyata dimuat dalam
undang-undang yang bersangkutan seperti halnya dengan yang termaktub dalam
perundang-undangan pajak di Indonesia sebagai berikut:
- Mengisi dan memasukan SPT yang tidak benar atu tidak lengkap, dinacam:
- Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan 1994 (Ord PPd) oleh pasal 23 (1)
- Dalam Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Ord PPs) oleh pasal 47 (1)
- Dalam Undang-undang Pajak Penjualan 1951 (PPn) oleh Pasal 39.
- Dalam UU No. 6 Tahun 1983 PPm oleh pasal 39
- Dalm UU No. 6 tahun 1983 pasal 38 dan 39
- Menyerahkan/memperlihatkan buku/tulisan palsu dan dipalsukan seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsukan, diancam:
-
dalam Ordonansi PPd apsal 24
-
dalam Ordonansi PPs pasal 28 (1)
-
Dalam UU PPn pasal 40 (1)
- Tidak/tidak selengkapnya memenuhi suatu kewajiban tertentu, diancam:
-
dalam Ordonansi PPd pasal 26 (1)
-
dalm Ordinansi PPs 49a (1)
-
dalm UU PPn pasal 42
BAB III
EKSISTENSI PENGADILAN
PAJAK DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
Eksistensi badan
peradilan administrasi ditujukan kepada dua arah. Pertama, untuk melaksanakan
pengawasan aspek hukum (rechmatigheid controle) terhadap tindakan
pemerintah, kedua, untuk memberikan perlindungan hukum (rechts-beschreming)
bagi anggota masyarakat maupun pemerintah .
Masalah kepentingan
adalah hal yang sangat krusial dalam praktek peradilan administrasi. Adanya
kepentingan merupakan prasyarat untuk adanya standing to the sue, yaitu
kedudukan minimal yang harus dipunyai sesorang atau badan hukum untuk mencapai
kapasitas mengajukan gugatan ke badan peradilan administrasi.
Secara negasi dikatakan, tanpa adanya
kepentingan tidak akan ada gugatan. Sesuai dengan adagium yang sangat populer :
no interest, no action atau point d’intret - piont d’action atau geen
processueel belang - geen rechtsingang.
Stelsel pasif yang
dianut peradilan menempatkan gugatan sebagai kunci starter atau pemicu
bekerjanya pengawasan yudisial (judicial control) terhadap tindakan
penguasa dan perlindungan hukum masyarakat terhadap sikap-tindak pemerintah.
Tanpa adanya gugatan pengadilan tidak dapat melakukan pengujian terhadap
tindakan pemerintah.
Indroharto mengemukakan
bahwa pengertian kepentingan itu sendiri adalah samar-samar dan sulit dipegang. Sedang William Fox menyatakan bahwa masalah
kepentingan adalah masalah yang kontroversi dan sudah lama menjadi bahan
diskusi yang tak kunjung usai.
Masalah
kepentingan dalam konteks hukum administrasi jarang mendapat perhatian dari
pakar-pakar hukum administrasi maupun para praktisi, baik melalui
tulisan-tulisan maupun dalam diskusi-diskusi. Dalam literatur Indonesia penulis
menemukan pembahasan yang agak mendalam dalam buku Indroharto yang berjudul
Usaha Memahami Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang terbit pertama
kali tahun 1991. Dilihat dari struktur pembahasannya sangat mirip dengan uraian
J.B.J.M. ten Berge & A.Q.C. Tak, dalam baku Hoofdlijnen van het Nederlans
adminitratief procesrecht, yang terbit tahun 1987. Dalam konteks hukum perdata
oleh Sudikno Mertokusumo dalam buku Hukum Acara Perdata Indonesia yang pertama
kali terbit tahun 1977.
Dalam
praktek peradilan administrasi pada umumnya terdapat dua sikap mengenai hal
ini. Ada yang menafsirkannya terlalu sempit dan ada yang menginterpretasikannya
terlalu longgar. Perbedaan persepsi dikalangan akademisi dan pemerhati tentu
tidak akan menimbulkan masalah, tetapi berbedaan penerapan dikalangan hakim
tentu kurang baik bagi kepastian hukum dan dapat menggoyahkan konsistensi putusan
dalam lingkungan peradilan administrasi. Pada ujungnya membingungkan masyarakat
pencari keadilan dalam upaya mereka mendapat perlindungan hukum dari tindakan
Pemerintah. Demikian pula praktek semacam ini pada umumnya mendatangkan
keragu-raguan bagi pihak Pemerintah, karena putusan-putusan peradilan
administrasi khususnya berkenaan dengan “kepentingan” yang berubah-ubah tidak
dapat dijadikan standar dan tolok ukur bagi sikap mereka di masa mendatang.
Badan
Penyelesaian sengketa pajak (BPSP) kedudukannya berada diluar system peradilan
(Kekuasaan Kehakiman), tetapi dibawah kekuasaan eksekutif, akan tetapi sekarang
telah diubah menjadi pengadilan pajak berdasarkan kepada Undang-undang No. 14
Tahun 2002 Tentang Pengadilan Perpajakan. Kedudukan dari pengadilan pajak
berada dibawah kekuasaan yudikatif, sehingga pengadilan pajak telah memenuhi
syarat dari peradilan murni.[7]
Kedudukan
pengadilan pajak sebagai pengadilan administrasi murni, maka iterapkannya
atribusi vertical dalam sisitem peradilan Indonesia. Atribusi Vertikal adalah
wewenang yang bersifat melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis
pengadilan lainnya, yang secara berjenjang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
dan dapat dipenuhi oleh tolak ukurvertikal pengadilan administrasi, yaitu
kemampuan dalam memberikan putusan yang mendekati keadilan, melalui pemeriksaan
secara bertingkatsesuai dengan jenjang pyramidal peradilan berdasarkan system
kesatuan peradilan dengan Mahkamah Agung sebagai puncaknya.[8]
Munurut
Sjahrah Basah di kutip oleh Syofyan dan Ashar Hidayat bahwa
dengan adanya sengketa administrasi Negara berdasarkan kepada kedudukan dan fungsi
keadilan secara hirarkidalam susunan pengadilan bertingkat, hal ini berarti
terbuktinya upaya hukum bagi para pihak, satu pihak rakyat dan satu pihak lagi
adalah badan atau pejabat administrasi Negara. Upaya hukum yang dimaksud adalah
banding, kasasi dan peninjauan kembali, serta putusan pengadilan diputuskan
oleh hakim yang proporsional, berpengalaman, berwibawa, dan arif bijaksana baik
dipengadilan tinggi dalam tingkat banding, maupun di Mahkamah agung dalam
tingkat kasasi dan peninjauan kembali.[9]
Sengketa perpajakan
pada dasarnya adalah sengketa antara individual atau badan hukum privat dengan
birokrat negara. Mengingat birokrat negara dilengkapi dengan mandat hukum yang
memaksa dan hukum yang mengatur, sementara individual atau badan hukum privat
hanya berada dalam kondisi yang praktis objektif dalam posisi lebih lemah untuk
membela diri terhadap suatu beslit penetapan perpajakan, maka adalah penting
dibuka saluran-saluran pencarian keadilan bagi masyarakat. Saluran atau sarana
pencarian keadilan tersebutlah yang sesungguhnya mengembalikan posisi
masyarakat ke arah ekuilibrium dan pendulum tengah, mana kala dia sebagai warga
atau kawula berhadapan dengan Pemerintah.
Adapun
pengertian dari peradilan pajak menurut Undang-undang No. 14 Tahun 2002 Pasal 2
Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa
Pajak. Penjelasan dari pasal tersebut ialah Pengadilan Pajak adalah badan
peradilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000, dan merupakan Badan
Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.
BAB IV
KESIMPULAN
Pengadilan
Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib
Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak
menurut pasal 2 Undang-undang No. 14 Tahun 2002 Tentang peradilan pajak.
Prinsip yang harus menjadi pegangan
penerapan ketentuan perpajakan tersebut antara lain adalah:
a. Prinsip kesamaan/ keadilan (equity)
Beban
pajak harus mencerminkan kemampuan relatif pembayar pajak
b. Prinsip kepastian (certainty)
Pengertian
pemahaman harus tegas, pasti dan tidak memberikan multi tafsir
c. Prinsip kelayakan (convenience)
Pemungut
pajak tidak harus melakukan penekanan (coerciveness) kepada pembayar pajak
d. Prinsip economy (economy)
Badan Penyelesaian sengketa pajak (BPSP)
kedudukannya berada diluar system peradilan (Kekuasaan Kehakiman), tetapi
dibawah kekuasaan eksekutif, akan tetapi sekarang telah diubah menjadi
pengadilan pajak berdasarkan kepada Undang-undang No. 14 Tahun 2002 Tentang
Pengadilan Perpajakan. Kedudukan dari pengadilan pajak berada dibawah kekuasaan
yudikatif, sehingga pengadilan pajak telah memenuhi syarat dari peradilan murni
DAFTAR
PUSTAKA
Bagir
Manan. 1997, organisasi peradilan di Indonesia, FHUII , Bandung
Tjandra,
Riawan. 2005, Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas
Admajaya, Yogyakarta.
Marbun,
SF. 2003, Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia,.
Yogyakarta
Syofir
syofyan dan Ashar Hidayat. 2003, Hukum Pajak dan Permasalahannya.Penrbit
Andi, Yogyakarta
R.
Santoso Brotodiharjo.2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak,.Refika
Aditama,Bandung
Y.
Sri Pudyatmoko. 2005,Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta
Undang-undang
No. 14 Tahun 2002 Tentang Peradilan Pajak
[1]
Bagir Manan, Organisasi Peradilan di
Indonesia, 1997, hal 4
[2]
Tjandra, Riawan. 2005. Hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Yogyakarta: Universitas Admajaya Yogyakarta.
Hal 11
[3] Marbun,
SF. 2003. Peradilan Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia.
Yogyakarta, hal 1
[4] Marbun, SF. 2003. Peradilan
Administrasi Dan Upaya Administratif Di Indonesia. Yogyakarta, hal 6
[6] Santoso Brotodihatdjo, Pengantai
Ilmu Hukum Pajak,2003,(PT. Refika Aditama: Bandung) hlm.30-36.
[7] Syofir syofyan dan Ashar
Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, 2003, hal 95
[8] ibid
[9] Ibid, hal 96
Post a Comment