SISTEMATIKA FILSAFAT/ STRUKTUR FILSAFAT
SISTEMATIKA FILSAFAT/ STRUKTUR FILSAFAT
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Ilmu (Sain) Dalam Struktur Filsafat
Menelusuri posisi ilmu dalam konstalasi sitematika filsafat
secara umum boleh dibilang penting. Ini berguna untuk lebih memahami
karakteristik ilmu secara kefilsafatan, atau setidaknya mengerti posisi ilmu
dalam perkembangan pemikiran filsafat. Dan memang, hal yang sedang dibahas di
sini adalah Filsafat Ilmu. Prase Filsafat Ilmu, dapat berpengertian filsafat
tentang ilmu, dan atau dipahami sebagai ilmu dilihat dari sudut pandang
kefilsafatan. Ini tidak menurut referensi, tetapi menurut penalaran saja, setelah
membaca berbagai karya filsafat dan Filsafat Ilmu.
Untuk yang pertama, jika filsafat diartikan sebagai
penelusuran sesuatu sampai ke hakikat maka penjelasan mengenai filsafat tentang
ilmu adalah hakikat tentang ilmu, sampai sedalam-dalamnya, hingga ke akar-akarnya,
secara menyeluruh. Sedangkan menurut pemahaman yang kedua, bahwa filsafat ilmu
itu adalah bagaimana sudut pandang kefilsafatan dalam meneropong ilmu.
Barangkali hal ini sama dengan pada saat Septiawan Santana menulis buku
bertajuk Jurnalisme Sastra. Isi buku tersebut bukan sekedar bagaimana
menuliskan hasil jurnalisme dengan gaya bahasa sastra, melainkan bagaimana
paradigma sastra bekerja untuk kegiatan-kegiatan jurnalisme. Singkatnya,
bagaimana paradigma filsafat memandang atau bahkan merasuki ilmu.
Selanjutnya, untuk lebih jelasnya lagi, setelah diuraikan
secara sederhana mengenai sistematika atau struktur filsafat, akan dibahas
secara khusus mengenai ilmu. Sehingga isi makalah ini hendak berusaha
menjelaskan beberapa hal berikut ini:
- Bagaimana sistematika atau struktur filsafat itu
- Dimanakah posisi ilmu dalam sistematika filsafat
- Ruang lingkup pembahasan ilmu dalam filsafat ilmu serta beberapa penjelasan tambahan lainnya mengenai ilmu.
B.
Sistematika Filsafat
Filsafat mempunyai objek kajian, material dan formal. Objek kajian
materialnya yaitu sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Dan objek formalnya,
yaitu selama sesuatu yang ada dan yang mungkin ada itu diselidiki secara
mendalam. Atau dicari keterangan yang sedalam-dalamnya.
Hasil berpikir segala sesuatu yang
ada dan yang mungkin ada itu tadi telah banyak sekali terkumpul, dalam berbagai
buku, hasil karangan, dan karya tulis para filsuf. Setelah kesemuanya itu
disusun secara sistematis, ia dinamakan sistematisasi filsafat, disebut juga
struktur filsafat.
Oleh karena itu, objek kajian
filsafat luas sekali. Hasil pemikiran itu senantiasa membuncit dan tidak ada
yang dieliminasi. Maka hasil yang terkumpul dalam sistematika filsafat menjadi
banyak sekali. Karena banyaknya, jangankan mempelajari, membaginya pun repot.
Begitu komentar Tafsir dalam bukunya Filsafat Umum.
Tetapi mengenai uraian struktur
filsafat atau sistematika filsafat ini, tidak ada buku yang lebih sistematis
dan bagus dari buku legendarisnya Ahmad Tafsir itu. Itulah kelebihan seorang
profesor, mampu membuat sesuatu yang rumit menjadi sederhana dan mudah
dipahami. Maka referensi penting dari makalah ini, dalam membuat sistematika
filsafat mengacu kepada sistematisasi filsafat yang sudah dilakukan Tafsir
dalam bukunya itu.
Tujuan berfilsafat ialah menemukan
kebenaran yang sebenarnya. Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara
sistematis, jadilah ia sistematika filsafat. Sistematika filsafat ini biasanya
terbagi atas tiga cabang besar filsafat, yaitu teori pengetauan, teori hakikat, dan teori nilai.
Teori pengetahuan, membahas tentang
cara memperoleh pengetahuan. Teori hakikat membahas semua objek, dan hasilnya
ialah pengetahuan filsafat. Teori nilai atau aksiologi membicarakan guna
pengetahuan itu tadi.
Sebelum berbicara lebih jauh lagi,
baiknya kita susun terlebih dahulu sistematika tersebut. Ini untuk memudahkan
kita, agar dapat melihat dulu bagaimana peta filsafat yang luas itu. Bagusnya
dibuat dalam bentuk gambar, tetapi sepertinya tidak memungkinkan. Pola dasar
sistematikanya, sekali lagi meniru dari yang dibikin Ahmad Tafsir dalam buku
yang disebut tadi. Namun beberapa hal ditambahkan dan diimprovisasi sesuai
dengan penalaran dan temuan pada buku lain. Temuan pada buku-buku lain dimaksud
ada yang juga serupa tapi tak sama, seperti misalnya pada buku Aliran-aliran Filsafat dan Etika karya
Juhaya S. Praja. Ada pula yang merupakan hal baru, seperti pada aliran-aliran
dalam teologi, etika dan estetika. Untuk pembagian ateisme, misalnya dapat
ditelusuri pada tulisan Jalaluddin Rakhmat untuk pengantar buku Agama Marxis
karya O. Hasem.
BAB II
PEMBAHASAN
SISTEMATIKA FILSAFAT/
STRUKTUR FILSAFAT
1. Teori Pengetahuan (kadang disebut juga epistemologi)
1.1. Epistemologi
1.1.1. Empirisme
1.1.2. Rasionalisme
1.1.3. Positivisme
1.1.4. Intuisionisme
1.2. Logika (rasional dan supra-rasional)
2. Teori Hakikat (kadang disebut juga ontologi)
2.1. Ontologi
2.1.1. Materialisme
2.1.2. Idealisme
2.1.3. Dualisme
2.1.4. Skeptisisme
2.1.5. Agnostisisme
2.2. Kosmologi
2.3. Antropologi
2.4. Theodicea atau Theologia
2.4.1. Teisme
2.4.1.1.
Monoteisme
2.4.1.2.
Triniteisme
2.4.1.3.
Politeisme
2.4.1.4.
Panteisme
2.4.1.5.
Panenteisme
2.4.2. Ateisme
2.4.2.1.
Ateisme Rasional
2.4.2.2.
Ateisme Romantis
2.4.3. Agnotisisme
2.5. Filsafat Agama
2.6. Filsafat Hukum
2.7. Filsafat Pendidikan
2.8. Filsafat Sejarah
2.9. Filsafat Administrasi
2.10.
dll.
3. Teori Nilai (disebut juga aksiologi)
3.1. Etika
3.1.1. Hedonisme
3.1.2. Vitalisme
3.1.3. Pragmatisisme
3.1.4. Utilitarianisme
3.1.4.1.
Utilitarianisme Tindakan
3.1.4.2.
Utilitarianisme Peraturan
3.1.5. Etika Teonom
3.1.5.1.
Etika Teonom Murni
3.1.5.2.
Teori Hukum Kodrat
3.1.6. Eudemonisme
3.1.7. Etika Agama (ahlak)
3.1.7.1.
Islam
3.1.7.2.
Cofusianisme
3.1.7.3.
Katolik dan Kristen
3.1.7.4.
Yahudi
3.1.7.5.
Hindu
3.1.7.6.
Budha
3.1.7.7.
Konghucu
3.1.7.8.
Aliran Kepercayaan
3.1.7.9.
dll.
3.1.8.
3.2. Estetika
3.2.1. Metafisis
3.2.2. Psikologis
3.2.3. Objektif
3.2.4. Subjektif
A.
Posisi Ilmu dalam Sistematisasi/ Struktur Filsafat
Sistematisasi/ struktur/ peta filsafat di atas,
rasa-rasanya tidak perlu dijelaskan semua di sini. Selain karena keterbatasan
ruang, juga agar bahasan fokus kepada mengantarkan kepada pembahasan filsafat
ilmu. Yang akan diurai di sini cukup mengenai epistemologi, sebab pada bagian
itulah ilmu muncul. Bahkan banyak pula kalangan yang menyebut bahwa
epistemologi itu filsafat ilmu.
Penjelasan sederhananya begini.
Seperti yang sudah dikemukakan, filsafat itu terbagi ke dalam tiga cabang besar.
Teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori nilai. Ketiganya berkembang lagi,
melahirkan aliran-aliran tersendiri. Pada teori pengetahuan misalnya ada
epistemologi dan logika. Itu juga berkembang lagi. Epistemologi melahirkan,
sebut saja filsafat aliran empirisme, rasionalisme, positivisme, dan
intuisionosme.
Teori hakikat membuahkan onotologi,
kosmologi, antropologi, dan seterusnya dapat dilihat pada pembagian di atas.
Begitupun teori nilai, berkembang melahirkan etika dan estetika.
Untuk kepada pemahaman mengenai
filsafat ilmu, pembahasan cukup pada epistemologi. Sebab di situlah
bersemayamnya ilmu dalam kacamata paradigma barat.
Begini. Epistemologi membicarakan
antara lain hakikat pengetahuan, yaitu apa pengetahuan itu sesungguhnya? Juga
membahas sumber pengetahuan itu, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan
tersebut?
Runes dalam kamusnya (1971),
menjelaskan bahwa epistemology is the
branch of philosophy which investigates the origin, structure, methods and
validity of knowladge. Itulah sebabnya epistemologi sering disebut dengan
istilah filsafat pengetahuan, sebab ia membicarakan hal pengetahuan. Istilah
epistemologi sendiri untuk pertama kalinya muncul dan dipergunakan oleh J.F.
Ferrier pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Menurut John Locke, teori
pengetahuan harus mendahului cabang lainnya. Ia menjadikan teori pengetahuan
sebagai salah satu bidang kajiannya yang penting.
B. Ada Beberapa Aliran Dalam Epistemologi.
- Empirisme
Empirisme bersal dari kata dalam bahasa Yunani, empirikos atau empeiria, artinya pengalaman. Menurut aliran ini, pengetahuan dapat
diperoleh hanya melalui pengalaman. Lebih tepatnya pengalaman inderawi. Kita
tahu kerbau itu besar setelah melihatnya. Tahu bahwa gula itu manis, setelah
mencicipinya. Tahu bahwa cianjuran itu “waas” setelah menyimaknya. Tahu bahwa
parfum itu eksotis setelah menciumnya, dan tahu bahwa kulit istri atau suami
Anda halus setelah mengelusnya. Jadi, jangan percaya konsep, sebelum
mengalaminya, ada eksperimen.
Sesuatu yang tidak dapat diamati dengan indera bukanlah
pengetahuan yang benar. Jadi, pengalaman indera itulah sumber pengetahuan yang
benar. Karena itulah metode penelitian yang menjadi tumpuan aliran ini adalah
metode eksperimen. Tokoh utama aliran ini John Locke (1632-1704) dengan
teorinya tabula rasa.
Terduga, bagi aliran ini Tuhan non sense, malaikat, surga
dan neraka, tidak dianggap ada. Karena hal itu tidak bisa ditangkap oleh
indera.
Tetapi aliran ini memiliki kelemahan. Kelemahan pertama
ialah indera terbatas. Benda yang
jauh kelihatan kecil. Apakah benda itu kecil? Keterbatasan kemampuan indera ini
dapat melaporkan objek tidak sebagaimana adanya. Dari sini akan terbentuk
pengetahuan yang salah.
Kelemahan kedua ialah indera
menipu. Bagi yang sedang sariawan, baso itu perih, tidak nikmat sebagaimana
di lidah orang yang waras. Bagi orang ciwidey, kota Bandung itu panas, tapi
bagi orang Jakarta dingin. Ini juga manimbulkan pengetahuan empiris yang salah.
Kelemahan ketiga, objek
menipu. Contohnya ilusi dan fatamorgana. Prasangka, seolah-olah mendengar
padahal tidak. Kelemahan keempat, indra
dan objek terbatas. Kita tidak dapat melihat benda tiga dimensi sekaligus.
Kita hanya bisa melihatnya dari depan saja, samping saja, dst.
Kesimpulannya empirisme lemah karena indera ini terbatas.
Oleh karena itu muncul rasionalisme.
- Rasionalisme
Singkatnya, aliran ini memliki rumus bahwa akal adalah
dasar kepastian pengetahuan. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan
akal menangkap objek. Tokohnya Rene Descartes (1596-1650).
Bagi aliran ini, keterbatasan indera dalam empirisme dapat
diatasi seandainya akal digunakan. Benda yang jauh kelihatan kecil karena jarak
menentukan bayangan yang jatuh di mata. Atau fatamorgana itu gejala alam. Dst.
Rasionalisme tidak mengingkari kegunaan indera dalam
memperoleh kebenaran. Pengalaman indera diperlukan untuk merangsang akal dan
memberekan bahan-bahan yang merangsang akal dapat bekerja. Untuk sampainya
manusia kepada kebenaran adalah semata-mata dengan akal. Laporan indera
merupakan bahan yang belum jelas. Bahan ini kemudian dipertimbangkan oleh akal
dalam pengalaman berfikir. Indera memotret, akal yang memaknai. Jadi akal
bekerja karena ada bahan dari indera. Akan tetapi, akal dapat juga menghasilkan
pengetahuan yang tidak berdasarkan bahan inderawi sama sekali. Jadi akal dapat
juga menghasilkan pengetahuan tentang objek yang betul-betul abstrak.
Selanjutnya kerjasama empirisme dan rasionalisme inilah
yang melahirkan metode sains, dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains,
yang dalam bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan
ilmiah. Pengetahuan sains adalah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki
bukti empiris.
Jika yang bekerja hanya rasionalisme saja, tanpa didukung
bukti empiris, maka pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan filsafat.
Jadi pengetahuan filsafat merupakan pengetahuan yang logis saja tanpa didukung
pengetahuan yang empiris.
Lanjutan dari empirisme dan rasionalisme itu dalam filsafat
pengetahuan ialah aliran positivisme.
- Positivisme
Tokohnya August Comte (1798-1857), seorang penganut
empirisme. Ia berpendapat bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh
pengetahuan tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan
eksperimen. Kekeliruan indera akan dikoreksi dengan eksperimen. Eksperimen
memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas diukur dengan derajat panas, jauh
diukur dengan meteran, berat diukur dengan kiloan, dst.
Jadi pada dasarnya pstivisme bukan
aliran yang mandiri. Ia hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang
bekerjasama. Dengan kata lain ia menyempurnakan metoda ilmiah. Jadi menurut
positivisme, kebenaran adalah sesuatu yang terukur.
Sepertinya, pada periode inilah ilmu
(sains) mengalami kemajuan yang dahsyat, dan dianggap garda depan dalam
kehidupan ini. Hingga Comte membuat tingkatan periodisasi pengetahuan di
masyarakat: mitos, filsafat, ilmu. Ilmu yang dimaksud adalah sains.
- Intuisionisme
Dengan indera, manusia hanya mapu mengetahui bagian-bagian
tertentu tentang objek. Dibantu oleh akal, manusia juga belum mampu memperoleh
pengetahuan yang utuh. Manusia mampu menagkap keseluruhan objek hanyalah dengan
intuisinya. Inilah aliran keempat. Ini adalah aliran yang dibawa Bergson
(1859-1941).
Lagi pula, dalam kehidupan ini ada
gejala-gejala yang tidak bisa atau tidak harus selalu dialami dulu. Dan belum
tentu ditangkap oleh rasionalitas. Bahkan tidak bisa diukur. Apakah bahagia
bisa diukur? Apakah benci bisa ditensi? Apakah cantik itu rasional? Dst.
Belum lagi kalau kita berbicara
masalah pengalaman batiniah keagamaan seseorang. Itu mistis. Tidak bisa
dirasionalkan, dan diukur. Apakah malaikat pernah terlihat? Tetapi kenapa Anda
mempercayainya. Itulah intuisi.
C. Macam-macam Pengetahuan
Manusia
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai
jenis-jenis pengetahuan manusia. Mengenai macam pengetahuan itu, objeknya,
paradigmanya, metodenya, serta ukuran-ukurannya dapat dilihat dalam matriks
yang sudah dibuatkan, lagi-lagi oleh Tafsir. Beliau pernah membikin tabel ini
dua kali. Pertama di bukunya Filsafat Umum, kedua di bukunya Filsafat Ilmu.
Tetapi ini dikutip dengan perspektif kami. Untuk menjaga konsistensi konsep,
kami mmeuatnya campur aduk. Karena sepertinya ada perubahan temuan pikiran yang
baru.
SKEMA PENGETAHUAN MANUSIA
Macam Pengetahuan
|
Objek
|
Paradigma
|
Metode
|
Ukuran
|
Sains
|
Empiris
|
Positivistis
|
Metode ilmiah,
Sains (logiko, hipotetiko,verifikasi)
|
Rasional dan bukti
empiris
|
Filsafat
|
Abstrak
Logis
|
Logis
|
Rasio
|
Logis
|
Mistik
|
Abstrak
Supralogis
|
Mistis
|
Latihan
|
Rasa
|
Pada sub pembahasan ini sudah mulai kentara, bahwa yang
dimaksud filsafat ilmu itu, ilmu dalam pengertian sains. Dan itu sangat
materialistis, positivistis. Inilah ilmu dalam perspektif barat. Ilmu di sini
merupakan penyempitan atau pengkhususan dari jenis pengetahuan manusia yang
luas itu.
Dalam Filsafat Ilmu, Tafsir mendahulukan sebuah penjelasan,
seperti ini. Bagi orang-orang yang mempelajari bahasa arab kata al-’ilm berarti pengetahuan (knowladge), sedangkan kata ilmu dalam
bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan dari kata science dalam bahasa inggris yang berarti pengetahuan sains
(ilmiah) itu. ilmu dalam arti science
itu hanya sebagian dari al-‘ilm dalam
bahasa arab. Karena itu, kata Tafsir, science
seharusnya diterjemahkan sain saja. Maksudnya agar orang yang mengerti bahasa
Arab tidak bingung membedakan kata ilmu (sain) dengan kata al-‘ilm yang berarti knowladge.
Ini bukan sekedar bahasa, tetapi lumayan paradigmatik.
BAB III
RUANG LINGKUP PEMBAHASAN ILMU
DALAM FILSAFAT
MENGENAI ILMU
A. Ruang Lingkup Pembahasan Ilmu
Dalam Filsafat Ilmu Serta Beberapa Penjelasan Tambahan Lainnya Mengenai Ilmu
Untuk sub bahasan ini, seluruhnya kami uraikan sebuah
resume yang diambil dari buku Filsfat Ilmu karya Jujun Suriasumantri. Ini
sekedar informasi saja seputar karakteristik filsafat ilmu. Berikut resumenya.
- Filsafat ilmu bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
- Ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
- Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu sosial.
- Pembagian tersebut lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom.
- Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak ada perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
- Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu, seperti di bawah ini:
a.
Ontologi : objek apa yang ditelaah ilmu?
Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan?
b.
Epistemologi : bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/
teknik/ sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa
ilmu?
c.
Aksiologi : untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ profesional?
- Semua pengetahuan, apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada dasarnya mempunyai ketiga landasan ini. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan.
- Dari semua pengetahuan, ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara konsekuen dan penuh disiplin. Dari pengertian inilah sebenarnya berkembang pengertian ilmu sebagai disiplin yakni pengetahuan yang mengembangkan dan melaksanakan aturan-aturan mainnya dengan penuh tanggungjawab dan kesungguhannya.
- Jadi untuk membedakan jenis pengetahuan yang satu dari pengetahuan-pengetahuan lainnya , maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Apa yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan pegetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut digunakan (aksiologi)? Degan mengetahui jawaban ketiga pertanyaan ini maka dengan mudah ita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang terdapat dalam khasanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu , seni dan agama serta meletakan mereka pada tempatnya masing-masing.
- Tanpa mengenali ciri-ciri tiap pengetahuan dengan benar, maka bukan saja kita tidak dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal, bahkan kadang kita salah menggunakannya.
BAB
IV
KESIMPULAN
Jadi
dalam segala pembahasan diatas tentang apa yang telah dijelaskan bahwa filsafat diartikan sebagai penelusuran sesuatu sampai ke hakikat maka
penjelasan mengenai filsafat tentang ilmu adalah hakikat tentang ilmu, sampai
sedalam-dalamnya, hingga ke akar-akarnya, secara menyeluruh. Sedangkan menurut
pemahaman yang kedua, bahwa filsafat ilmu itu adalah bagaimana sudut pandang
kefilsafatan dalam meneropong ilmu. Barangkali hal ini sama dengan pada saat
Septiawan Santana menulis buku bertajuk Jurnalisme Sastra. Isi buku tersebut
bukan sekedar bagaimana menuliskan hasil jurnalisme dengan gaya bahasa sastra,
melainkan bagaimana paradigma sastra bekerja untuk kegiatan-kegiatan
jurnalisme. Singkatnya, bagaimana paradigma filsafat memandang atau bahkan
merasuki ilmu. Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin
menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu, seperti di bawah ini:
a.
Ontologi : objek apa yang ditelaah ilmu?
Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tadi
dengan daya tangkap manusia (seperti berfikir, merasa dan mengindera) yang
membuahkan pengetahuan.
b.
Epistemologi : bagaimana proses yang
memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan agar kita mendapat pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/ teknik/
sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu.
c.
Aksiologi : untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/ profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997
Ahmad
Tafsir, Filsafat Ilmu, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2009
Harun
Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1980
Jan
Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,
Yogyakarta: Kanisius, 2002
Juhaya
S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan
Etika, Bandung: Yayasan PIARA, 1997
Jujun
S, Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1987.
Mulyadhi
Kartanegara, Panorama Filsafat Islam,
Bandung: Mizan, 2005
Mulyadhi
Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam,
Bandung: Mizan, 2003
Post a Comment