DEISME SEBAGAI RESPON ATAS SITUASI KEBERAGAMAAN DI EROPA ABAD PERTENGAHAN
DEISME SEBAGAI RESPON ATAS SITUASI KEBERAGAMAAN DI EROPA ABAD PERTENGAHAN
DEISME SEBAGAI RESPON ATAS SITUASI
KEBERAGAMAAN DI EROPA ABAD
PERTENGAHAN
- DOGMATISME DAN GERAKAN REFORMASI GEREJA
1.
Pengertian Gereja
Gereja
merupakan kata
dalam Bahasa Indonesia yang diambil dari Bahasa
Portugis igreja. Bahasa Portugis sendiri menyerap dari Bahasa Latin
– dan bahasa latin memungutnya- dari Bahasa Yunani
ekklêsia yang berarti dipanggil keluar (ek=keluar; klesia
dari kata kaleo=memanggil). Jadi, ekklesia berarti kumpulan orang yang
dipanggil ke luar (dari dunia ini).
Kata gereja dalam Bahasa Indonesia memiliki
beberapa arti:
- Arti pertama ialah “umat” atau lebih tepat persekutuan orang Kristen. Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja pertama-tama bukan sebuah gedung.
- Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, atau pun tempat rekreasi. Jadi, tidak melulu mesti di sebuah gedung khusus ibadah.
- Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen. Misalkan Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll.
- Arti keempat ialah lembaga (administratif) dari sebuah mazhab Kristen. Misalkan kalimat “Gereja menentang perang Irak”.
- Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang.
Gereja
(untuk arti pertama) terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada
hari raya Pentakosta,
yaitu ketika Roh Kudus
yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus.
2.
Pengertian Dogmatika
Istilah “dogma” berasal dari kata Yunani dan Latin, memiliki arti “hal yang dipegang sebagai suatu opini”. Atau
bisa juga menunjuk pada “suatu doktrin atau badan dari doktrin-doktrin teologi dan
agama yang secara formal dinyatakan dan diproklamasikan sebagai suatu yang
berotoritas oleh gereja.” Istilah ini bukanlah istilah yang asing bagi Alkitab,
sebab dalam Perjanjian Baru ada beberapa ayat yang menyebutkan kata dogma,
dengan berbagai variasi pengertian. di antaranya adalah:
- Lukas 2:1; Kisah Para Rasul 17:7; Ibrani 11:23 dengan arti ketetapan, perintah dari kaisar atau raja.
- Efesus 2:15; Kolose 2:14 dengan arti perintah hukum, ketentuan hukum, yang berasal dari Musa.
- Kisah 16:4 dengan arti keputusan Kristen.
Kata “dogma” selanjutnya lebih sering dihubungkan dengan “ajaran Kristen”
bahkan “ajaran gereja-gereja”. Klug, seorang teolog Roma yang termasyur pada
masa antara perang dunia yang pertama dan yang kedua, ia mendefinisikan dogma
sebagai “sebuah dalil yang dinyatakan oleh gereja sebagai kebenaran wahyu dan
yang pada waktu yang sama dirumuskan.”
Dalam bentuk yang sederhananya, istilah ini artinya “perintah”,
“ketetapan,” “keputusan,” “resolusi,” “doktrin,” “opini” dan “azas.” Kata kerja
dalam bahasa Yunani untuk istilah “dogma” ini adalah dogmatizo, artinya
menetapkan atau menitahkan.
Sumber dogmatika adalah Alkitab, seperti halnya juga dengan teologia. Tapi
penekanan dalam dogmatika adalah penetapan atau keputusan gereja tentang
pokok-pokok ajaran Kristen.
Oleh karena itu, dogma mempunyai kuasa dan ditentukan oleh gereja. Namun,
hanya Al-kitablah yang menjadi sumber dogma. Memang gereja dapat menentukan
dogma, tetapi tiap-tiap orang percaya boleh membandingkan dogma-dogma dengan
Kitab Suci, dan kalau terdapat dogma yang tidak sesuai firman Tuhan, maka harus
diusahakan supaya dogma itu diubah oleh gereja.
Gereja Roma Katolik meletakkan dasar kepastian dogma sepenuhnya kepada
gereja. Hal ini merupakan implikasi dari pandangan Roma Katolik tentang gereja,
bahwa gereja tidak dapat tersesat. Hal ini dimulai pada abad pertengahan ketika
gereja Katolik mengembangkan ajaran depositum fidei, yakni suatu
konsepsi bahwa kepada gereja telah dipercayakan sejumlah perbendaharaan
kebenaran sehingga tidak ada satu pun dari perbendaharaan ini yang hilang.
Di lain pihak, gereja-gereja Protestan tidak percaya kepada “suatu gereja
yang tak dapat bersalah” yang mempunyai “jabatan yang tak dapat bersalah,” yang
berkuasa untuk merumuskan “ucapan-ucapan yang tak dapat bersalah.” Protestanisme
tidak memahami dogma sebagai kebenaran wahyu yang ilahi, yang dirumuskan oleh
gereja supaya berlaku sampai kekal, melainkan sebagai kebenaran iman yang
insani, yang masa kini secara eksistensial diakui oleh jemaat Kristen dan anggota-anggotanya
atau sebagai “keselarasan penyampaian gereja dengan wahyu yang disaksikan dalam
Alkitab” (Karl Barth). Inilah yang menjadikan dogma dalam gereja Protestan
sifatnya relatif. Selain dari pada itu, perumusan bentuknya disusun oleh
manusia sehingga tidak sekuat penyataan Tuhan. Kita menyadari bahwa penyataan
Tuhan dalam, lebar, dan tingginya melebihi akal budi manusia. Dari sebab itu
tak mungkin penyataan Tuhan seluruhnya, secara habis-habisan djadikan dogma.
Hal ini dapat digambarkan seperti: terang matahari tidak dapat diterima semuanya
oleh sebuah rumah, hanya sebagian kecil dari sinar matahari yang dapat ditangkap
olehnya. Jadi jelas, bahwa dogma bukan Firman Allah sendiri, maka tidak mutlak
adanya.
- Dogmatisme Dogmatika Gereja dan Kelahiran Protestan Serta Sekte-sekte Lainnya pada jaman reformasi gereja.
Kristen pada abad pertengahan, sekira tahun 1500 M, sebelum adanya gerakan
reformasi, memegang dominasi yang kuat di banyak belahan dunia eropa.
Sebagaimana pendahulunya, kaum Yahudi –di mana Kristianitas terlahir dari agama
ini- klaim kebenaran seperti menjadi satu-satunya cara pandang dalam
mengembangkan sikap keberagamaan. Dua agama besar ini sama-sama memiliki paham
bahwa meraka adalah kaum yang paling mengenal Tuhan dan berkewajiban untuk
menyebarkannya. Agama di luar dirinya salah. Pemahaman tentang ketuhanan di
luar konsep ketuhanan yang dianutnya dianggap hanya hayalan belaka.
Sebagai lembaga yang merasa memiliki otoritas atas berbagai konsepsi
kebenaran, setidak-tidaknya seringkali mengembangkan tiga sikap. Pertama, menganggap
dirinyalah yang paling benar, dan orang lain salah, sehingga kedua, Ia
akan merasa sangat berhak untuk “memaksakan” konsepsinya ini kepada orang lain
yang dianggapnya salah ini (mission). Dan yang ketiga, karena
merasa dirinya yang paling benar dan orang lain di luar dirinya salah, maka
lembaga pemilik otoritas itu tak jarang menjadi sebuah monumen yang ”tidak
tersentuh”, sakral, anti kritik, dst. Lembaga seperti ini merasa legal untuk
membuat peraturan apapun, karena itu adalah “kebenaran”.
Dalam situasi yang seperti inilah, kemudian di eropa saat itu, terjadi
banyak kebijakan-klebijakan atas nama agama yang tidak terkendali. Dan itu
membuat sekian banyak keresahan, baik bagi internal kalangan kristen sendiri maupun
kepada dunia di luar kristen.
Di internal kristen misalnya, terjadi penumpukan kekayaan di gereja yang
berlebihan. Selain itu juga, gereja terlibat dalam kubangan konflik-konflik
politik. Filsafat diharamkan. Ilmu pengetahuan dicurigai. Karena itu semua
dianggap membahayakan iman.
Dalam situasi yang seperti itu, sekelompok orang, dari kalangan gereja
sendiri berniat mereformasi itu semua. Dipimpin oleh Martin Luther. Banyak kritik
terhadap lembaga gereja, sehingga membuat aliran-aliran kristen saat itu kian
bertambah.
Sejatinya ini merupakan gerakan reformasi di abad pencerahan. Tetapi resiko
faktanya tidak sesederhana itu. Karena satu sama lain merasa benar, maka
terjadilah banyak peperangan.
Masyarakat tercabik-cabik oleh pertengkaran yang garang perihal masalah
teologis. Pertama-tama antara orang-orang katolik dengan orang-orang protestan,
dan kemudian di antara ratusan kelompok keagamaan yang muncul di eropa.
- LATAR BELAKANG KELAHIRAN DEISME
Di tengah-tengah kebingungan akibat konflik gereja dan kekacauan politik
ini, maka tidaklah mengejutkan bila orang-orang kristen yang bijak dari semua
pihak terus merasa kurang yakin bahwa mereka sajalah yang menerima kebenaran
final dari Tuhan. Perang-perang agama yang destruktif, yang berlangsung lebih dari
seratus tahun di beberapa negeri, membuat orang untuk percaya bahwa kebenaran
agama tidak mungkin ada pada sekte-sekte yang siap untuk menganiyaya dan
mengeksekusi lawan mereka, padahal semua mengatasnamakan Tuhan yang sama. Tentu, beberapa orang berkata bahwa kebenaran
agama pasti terletak di luar pertengkaran gereja, di luar penganiayaan. Maka
mereka menemukan suatu bentuk agama baru, suatu pemahaman baru mengenai maksud
dan pemahamannya.
Persoalan besar inilah yang muncul akibat latar belakang berdarah dari
persoalan sebelumnya, yang mendorong beberapa pemikir abad ke-18 jaman
pencerahan, mencari jawabannya dengan menawarkan ide tentang suatu agama
tunggal, mendasar, dan adil, yang dianut oleh semua bangsa manusia. Di antara
orang-orang yang masuk ke dalam lingkungan kaum “deis” –begitulah agama baru
itu disebut, sebagaimana kemudian mereka disebut- adalah beberapa nama yang paling terkenal
pada masa sekarang: John Toland, Matthew Tindal, David Hume, Thomas Jefferson-negarawan
Amerika, Ben Frenklin, Diderot, dan Voltaire. Salah satu dari mereka, di hampir
semua kelompok ini mengemukakan ide tentang sebuah “agama dasar” yang sederhana
dan dianut oleh bangsa manusia. Agama ini terdiri atas kepercayaan kepada Tuhan
Pencipta yang menjadikan dunia dan menyerahkannya pada hukum-hukum dasarnya
sendiri.
Saat mereka dari mana datangnya agama dasar, kaum Deis cendrung berbeda
diantara mereka sendiri.beberapa orang mengatakan bahwa dia berasal dari
penggunaan akal, suatu anugrah yang memisahkan mereka dari dunia binatang; yang
lain menelusurinya pada ketakutan dan kebodohan manusia di negaranya yang
biadab. Namun demikian, mereka tidak berbeda dalam keyakinan fundamental yang
menyatakan bahwa agama tidak dapat dijelaskan sesuai cara pendeta dan para
teolog, sebagai suatu rangkaian kebenaran yang diberikan secara langsung oleh
Tuhan pada suatu gereja milik mereka sendiri dan dengan demikian diingkari oleh
yang lain. Agama bagi kaum deis harus dijelaskan tanpa bantuan wahyau supernatural.
Ia harus bersifat terbuka sebagaimana wilayah aktivitas manusia yang lain, bagi
suatu teori yang mungkin dapatt menjelaskan mengapa ia ada, apa tujuannya, dan
bagaimana ia muncul.
- DEISME SEBAGAI NATURAL RELIGION
Secara etimologi, deisme berasal dari dua
kata, yaitu deus (Latin) yang berarti Tuhan dan isme yang berarti
paham. Dibedakan dari theisme yang berasal dari kata theos
(Yunani) yang juga berarti Tuhan. Theisme menerima iman dan wahyu sebagai dasar
dari kepercayaan terhadap Tuhan. Sedangkan deisme adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap Tuhan yang didasari oleh logika dan penalaran. Seorang deist menolak agama terorganisir dan agama wahyu yang memercayai keberadaan Tuhan berdasarkan tradisi dan wahyu. Tuhan mereka bukan Tuhan yang sebagaimana diceritakan dalam injil, namun Tuhan deisme, yaitu yang menciptakan segalanya lalu pergi – Tuhan yang tidak terlibat dalam urusan sehari-hari manusia.
(Yunani) yang juga berarti Tuhan. Theisme menerima iman dan wahyu sebagai dasar
dari kepercayaan terhadap Tuhan. Sedangkan deisme adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap Tuhan yang didasari oleh logika dan penalaran. Seorang deist menolak agama terorganisir dan agama wahyu yang memercayai keberadaan Tuhan berdasarkan tradisi dan wahyu. Tuhan mereka bukan Tuhan yang sebagaimana diceritakan dalam injil, namun Tuhan deisme, yaitu yang menciptakan segalanya lalu pergi – Tuhan yang tidak terlibat dalam urusan sehari-hari manusia.
Deisme adalah kepercayaan yang tertinggi kepada
alam yang ada, Allah menciptakan semesta fisik, dan bahwa kebenaran agama dapat
dijelaskan melalui akal manusia dan pengamatan atas alam di dunia, tanpa adanya
kebutuhan akan kepercayaan ataupun agama terorganisir. Deists umumnya menolak konsep wahyu gaib sebagai dasar
kebenaran sebuah dogma atau agama. Hal ini terlihat kontras dengan
ketergantungan pada wahyu ilahi yang ditemukan di banyak ajaran Kristen, Islam
Yahudi dan ajaran theisme lainnya.
Deists biasanya menolak kejadian gaib (kenabian,
mukjizat) dan cenderung menegaskan bahwa Tuhan (atau "Arsitek Yang Maha
Esa") memiliki rencana untuk semesta yang tidak terubahkan, baik oleh
campur dalam urusan kehidupan manusia atau menangguhkan hukum alam dari
semesta. Apa yang agama terorganisir lihat sebagai wahyu ilahi dan buku-buku
suci, deists melihat sebagai interpretasi yang dibuat oleh manusia lain,
bukan dari sumber yang berkuasa.
Deism menjadi menonjol di abad ke-17 dan 18
selama Masa Pencerahan, terutama di Inggris, Perancis dan Amerika, kebanyakan
di antara mereka dibesarkan sebagai Kristen yang mendapati bahwa diri mereka
tidak percaya akan Allah Tritunggal, definitas Yesus, keajaiban, atau keadaan
tidak berdosa sama sekali dari Kitab Suci, tetapi mereka yang hanya percaya
pada satu Tuhan.
Konsep deisme meliputi berbagai posisi pada
berbagai masalah keagamaan. Deisme dapat juga merujuk ke pribadi kepercayaan,
harus dilakukan dengan peran spiritualitas di alam.
Deisme dapat mirip dengan naturalisme. Oleh
karena itu, sering kali Deisme dianggap memberikan makna untuk pembentukan
semesta untuk hidup yang lebih tinggi dengan kerangka rencana yang memungkinkan
hanya untuk mengatur proses penciptaan alam.
Banyak deist yang menerima penalaran “Sebab
Pertama” sebagai dasar kepercayaan
terhadap Tuhan. “Sebab Pertama” telah mulai dikemukakan sejak zaman Aristoteles
dan Plato. Banyak filsuf yang menyempurnakan dan mengemukakan argumen-argumen,
termasuk Thomas Aquinas.
terhadap Tuhan. “Sebab Pertama” telah mulai dikemukakan sejak zaman Aristoteles
dan Plato. Banyak filsuf yang menyempurnakan dan mengemukakan argumen-argumen,
termasuk Thomas Aquinas.
Argumen “Sebab Pertama” secara sederhana dapat
digambarkan sebagai berikut:
“Segala sesuatu memunyai sebab dan tidak ada sesuatupun yang dapat menciptakan
dirinya sendiri, atau segala sesuatu yang ada disebabkan oleh sesuatu yang
lain. Rantai sebab tidak mungkin memunyai panjang yang tak hingga, karenanya pasti
ada suatu sebab pertama.”
Secara makrokosmos, dengan melihat seluruh alam
semesta, argumen kosmologi tersebut mencoba menganalogikan keberadaan
Tuhan sebagai “Sebab Pertama”
“Segala yang mulai menjadi ada mempunyai sebab.
Alam semesta mulai
menjadi ada, karenanya alam semesta memunyai sebab.”
menjadi ada, karenanya alam semesta memunyai sebab.”
Selain argumen kosmologi di atas, keberadaan
Tuhan juga dihayati melalui apresiasi pribadi terhadap struktur keteraturan dan
kerumitan yang ada di dalam alam dan alam semesta. Namun definisi tentang Tuhan
dan Ketuhanan seorang deist adalah abstrak dan melampaui pengertian manusia
pada saat ini. Dengan kata lain, bahasa manusia terlalu terbatas dan tidak
cukup untuk mendefinisikan Tuhan. Secara nalar, manusia hanya dapat
berspekulasi tentang Tuhan. Salah satu spekulasi adalah alam semesta adalah
Tuhan dan Tuhan adalah alam semesta, seluruh alam semesta mengandung substansi
Tuhan (Pantheist). Definisi Tuhan yang impersonal dan abstrak sering
menyebabkan deist disamakan dengan
atheist.
Berdasarkan konsep Tuhan-Pantheist, Tuhan
memunyai hubungan dengan seluruh isi alam semesta termasuk manusia, sehingga
hubungan manusia dengan Tuhan merupakan hubungan transpersonal yang sangat
pribadi. Paham inilah yang menyebabkan seorang deist tidak menganut agama
tradisional maupun agama terorganisir.
Dalam masalah moral, deist percaya bahwa
kemanusiaan memunyai kemampuan untuk menggunakan nalar untuk mengembangkan
prinsip-prinsip etika dan moral, dan pada dasarnya manusia dapat dituntun oleh
suara hatinya dalam masalah moralitas.
Deist juga percaya kepada hukum-hukum alam,
terutama dalam persamaan derajat antara setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Deist-humanis bahkan percaya bahwa segala tindakan individu adalah
usaha seluruh umat manusia untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan. Secara
ekstrim, tindakan individu yang “merusak” adalah pemicu bagi lebih banyak
individu lainnya untuk memperbaiki. Setiap individu manusia di bumi memiliki fungsi tanpa terkecuali dalam mengembangkan kemanusiaan. Tujuan hidup manusia menurut deisme adalah menggunakan nalar untuk mengerti makna dari kehidupan pribadinya dan menjalankan fungsinya dalam pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Pada tataran yang lebih tinggi, tujuan hidup manusia adalah persatuan harmonis dengan seluruh alam semesta.
individu lainnya untuk memperbaiki. Setiap individu manusia di bumi memiliki fungsi tanpa terkecuali dalam mengembangkan kemanusiaan. Tujuan hidup manusia menurut deisme adalah menggunakan nalar untuk mengerti makna dari kehidupan pribadinya dan menjalankan fungsinya dalam pengembangan nilai-nilai kemanusiaan. Pada tataran yang lebih tinggi, tujuan hidup manusia adalah persatuan harmonis dengan seluruh alam semesta.
Meskipun seorang deist tidak memercayai campur
tangan Tuhan dalam kehidupan manusia, tetapi deist masih menganggap doa sebagai
suatu bentuk meditasi, pengkondisian mental dan amplifikasi “substansi Tuhan”
dalam diri manusia yang dapat meningkatkan efektivitas usaha manusia.
Pada dasarnya, deist-humanis menganggap bahwa agama adalah faktor
penghambat bagi perubahan dan perkembangan kemanusiaan, namun deist pada
umumnya menghormati pandangan-pandangan lain tentang Tuhan dan agama-agama lain
selama manusia yang dipengaruhinya merasa nyaman di bawah naungannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Abineno, J.L. Ch; Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.
- Bahtiar Effendi, Radikalisme Agama, Jakarta: PPIM-IAIN, 1998
- Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986
- Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993
- Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Yogyakarta: Qalam, 2001
- Louis Leahy, Aliran-aliran Besar Ateisme, Yogyakarta: Kanisius, 1985
- Michael Keene, Kristianitas, Yogyakarta: Kanisius: 2005
- Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS, 2002
- O. Hasem, Agama Marxis,
Post a Comment