RESEP MENGENAI PENYAKIT KANDIDIASIS VULVOVAGINALIS
RESEP MENGENAI PENYAKIT KANDIDIASIS VULVOVAGINALIS
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Menurut
Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35
tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Resep adalah
permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker dalam bentuk paper maupun electronic
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku.
Resep
merupakan hal terpenting sebelum pasien menerima obat. Dalam alur pelayanan
resep, apoteker wajib melakukan pengkajian
resep yang meliputi kajian
administratif,
kesesuaian farmasetik dan pertimbangan
klinis untuk menjamin legalitas suatu resep dan meminimalkan kesalahan
pengobatan. Resep harus ditulis dengan jelas untuk meghindari salah persepsi antara penulis dengan pembaca
resep. Kegagalan komunikasi dan salah interpretasi antara dokter dengan
apoteker merupakan salah satu faktor kesalahan medikasi (medication error) yang berakibat fatal bagi pasien.
Penggunaan
obat yang rasional menjadi salah satu bagian terpenting untuk menghindari
kesalahan pengobatan dan dapat mengurangi dampak kerugian pasien. Penggunaan
obat yang rasional adalah pasien menerima obat yang tepat sesuai kebutuhan
klinis dan sesuai dosis. Dikatakan pengobatan rasional dan tepat secara klinis
jika dalam resep memenuhi persyaratan dalam tepat indikasi, tepat obat, tepat
dosis, tepat interval pemberian, lama pemberian dan menghindari terjadinya
interaksi obat, alergi obat dan efek samping yang tidak diinginkan (DepKes,
2006).
Profesi
apoteker mempunyai tanggung jawab dalam pelayanan kefarmasian untuk
mengoptimalkan terapi guna memperbaiki kualitas hidup pasien. Tetapi masih
sering terjadi kesalahan pengobatan (medication
error) dan obat-obatan yang merugikan dapat berdampak buruk bagi pasien.
Salah satu peran apoteker untuk memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu
adalah dengan menganalisa kerasionalan resep yang diterima oleh pasien dengan cara melakukan pengkajian
resep. Melalui pengkajian resep, apoteker dapat mengidentifikasi kerasionalan
pengobatan yang diberikan dan mengidentifikasi berbagai masalah terkait obat (drug related problems/DRPs) yang
terdapat dalam resep pasien agar dapat mengatasinya untuk menjaga keselamatan
dan meningkatkan keberhasilan terapi.
Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV) adalah infeksi jamur candida albicans pada alat genetalia wanita (vagina), melibatkan
pertumbuhan berlebih dari ragi, atau jamur, yang
dikenal sebagai Candida. Keluhan pada
pasien KVV adalah rasa sangat gatal atau pedih disertai keluar cairan yang putih, kental mirip krim susu/keju, atau dapat juga cair seperti air. Kandidiasis dapat menyerang wanita disegala usia, terutama usia pubertas dan merupakan masalah yang
umum, mempengaruhi hampir 75% dari wanita dewasa.
Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan analisis pengkajian resep mengenai
penyakit kandidiasis vulvovaginalis. Resep yang dikaji merupakan resep yang
diambil dari klinik Kimia Farma Cinunuk, Bandung karena di klinik tersebut
resep mengenai penyakit KVV cukup banyak jumlahnya dan kandidiasis
vulvovaginalis juga merupakan penyakit yang cukup menarik untuk dianalisis
terkait dengan penggunaan obat obatan untuk mengobati penyakit KVV agar pasien
dapat menerima obat secara rasional dan mencegah terjadinya DRP’s.
1.2
Tujuan
Kegiatan
pengkajian resep pasien bertujuan untuk menganalisa resep yang diterima oleh
pasien dan mengidentifikasi adanya masalah terkait obat dalam resep penyakit kandidiasis vulvovaginalis.
1.3
Manfaat
Kegiatan
pengkajian resep ini diharapkan dapat mengidentifikasi dan mencegah terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error)
untuk menjaga keselamatan pasien dan meningkatkan keberhasilan terapi sebagai
salah satu bentuk pelaksanaan pelayanan kefarmasian yang bermutu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengkajian
Resep
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 35 tahun
2014, resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper
maupun electronic untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Pengkajian
resep merupakan salah satu bagian dari pelayanan farmasi klinik yang dilakukan
di apotek. Kegiatan pengkajian resep meliputi kajian administratif, kesesuaian farmasetik dan
pertimbangan klinis.
a.
Kajian administratif meliputi:
1. Nama
pasien, umur, jenis kelamin, dan berat badan;
2. Nama
dokter, nomor Surat Izin Praktek (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf;
3. Tanggal
penulisan resep.
b.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1. Bentuk
dan kekuatan sediaan;
2. Stabilitas;
3. Kompatibilitas
(ketercampuran obat).
c.
Pertimbangan klinis meliputi:
1. Ketepatan
indikasi dan dosis obat;
2. Aturan,
cara, dan lama penggunaan obat;
3. Duplikasi
dan/atau polifarmasi;
4. Reaksi
obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat, manifestasi klinis
lain);
5. Kontra
indikasi; dan
6.
Interaksi.
Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter
penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila
perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
2.2. Kandidiasis Vulvovaginalis (KVV)
dan Kandidiasis Vulvovaginalis Rekuren (KVVR)
2.2.1.Definisi
Kandidiasis adalah infeksi dengan berbagai
manifestasi klinis yang disebabkan oleh kandida, khususnya Candida albicans dan ragi (yeast) lain dari genus kandida.
Kandidiasis pada wanita umumnya infeksi pertama timbul di vagina yang disebut
vaginitis dan dapat meluas sampai vulva (vulvitis), jika
mukosa vagina dan vulva keduanya terinfeksi disebut kandidiasi
vulvovaginalis (KVV) (Daili, Makes, et al., 2009).
KVV didefinisikan sebagai salah satu penyebab
tersering dari vaginitis, sebuah gangguan ginekologis dengan manifestasi cairan
putih, kental, tidak berbau yang terdapat pada saluran bawah reproduksi wanita.
Disertai gatal, iritasi, dysuria atau dyspareunia (Nwadioha, Egah,et al.,
2010). Kandida vulvovaginalis rekuren (KVVR) didefinisikan sebagai infeksi yang
mengalami kekambuhan 4 kali atau lebih dalam setahun (Akah, Nnamani, et al,.
2010). Penggunaan larutan pembersih organ kewanitaan atau douching dapat
menyebabkan KVVR. Diduga mekanismenya melalui reaksi hipersensitivitas yang
mengakibatkan meningkatnya kerentanan terhadap kandida. Faktor lain penyebab
KVVR adalah kontak seksual yang terlalu sering. Diduga hal ini disebabkan
karena abrasi vagina dan alergi terhadap semen pria (Pudjiati dan Soedarmadi,
2009).
2.2.2.Etiologi
KVVR dan KVV
sering disebabkan oleh C.albicans,
walaupun spesies non-albicans
dapat ditemukan sebagai agen penyebab. Candida merupakan organisme yang berasal dari genus Candida
dari famili Cryptococcaceae, ordo Moniliales dari
filum
Fungii perfecti. Pada tahun 1877 Grawitz mengemukakan bahwa genus ini merupakan jamur dimorfik. Martin kemudian membagi genus
menjadi beberapa spesies. Telah diketahui 163 spesies Candida, walau diketahui hanya 20 spesies yang patogen pada manusia. Sel jamur Candida berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran 2-5μ X 3-6 μ hingga 2-5,5 μ X 5-28,5 μ. Jamur membentuk
hifa semu (pseudohifa) yang
merupakan rangkaian blastospora (blastokonidia)
yang memanjang tanpa septa, yang juga dapat bercabang- cabang. Berdasarkan bentuk tersebut
maka dikatakan bahwa Candida menyerupai ragi (yeast like).
Dinding sel Candida terutama terdiri atas
β- glucan, mannan, chitin serta sejumlah
protein dan lemak. Mannan merupakan
komponen
antigen yang utama. Candida
dapat tumbuh pada medium dengan pH yang luas,tetapi pertumbuhannya
akan lebih baik
pada pH antara 4,5 sampai dengan 6,5.
2.2.3.Faktor Resiko
Beberapa faktor yang merupakan
predisposisi atau faktor risiko, khususnya yang berkaitan dengan dua hal, yaitu
meningkatnya karbohidrat, termasuk peningkatan dan penurunan pH. Hal ini erat
hubungannya dengan :
a. Kehamilan
b. Obesitas
c. Hormon
d. Lingkungan yang hangat dan
lembab
e. Pakaian atau pakaian dalam
yang ketat
f. Pemakaian oral kontrasepsi
g. Pemasangan IUD (Intra Uterine Device)
h. Pemakaian antibiotika spektrum
luas
i. Menderita diabetes mellitus
yang tidak terkontrol
j. Pemakaian obat yang mengandung
kortikosteroid
k. Pemakaian pencuci vagina
l. Penyakit infeksi dan keganasan
yang menekan daya tahan tubuh (Pudjiati,
Soedarmadi. 2009)
2.2.4.Epidemiologi
Data yang dikeluarkan
oleh Syarifuddin dkk (1995) menyatakan
tingginya frekuensi kejadian
KVV seiring dengan meningkatnya tahun, pada tahun 1987 KVV ditemukan
sebanyak 40% dari seluruh infeksi
saluran kemih, meningkat menjadi 60% pada tahun 1991 dan 65% pada tahun 1995. Pada tahun 1997 penelitian
yang dilakukan Depkes melaporkan angka
prevalensi KVV di Jakarta
Utara adalah sekitar
22% diantara wanita
pengunjung klinik KB. Di RSUP Haji
Adam Malik data tahun 2004 sampai dengan
2008 KVV menempati
urutan kedua terbanyak dari seluruh kunjungan pasien ke
poliklinik Infeksi Menular
Seksual yaitu sebanyak
19,47%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh D Ryanti (2015), prevalensi kejadian
KVV berdasarkan tingkat pendidikan pasien adalah 35% untuk lulusan SD; 35,1% untuk lulusan SMP;
34,6% untuk lulusan SMA dan 18,2% untuk lulusan perguruan tinggi.
2.2.5.Patogenesis
Candida adalah patogen
oportunistik yang dapat menyebabkan infeksi pada tuan rumah
dengan pertahanan imunitas yang lemah. Tidak ada faktor
patogenik pasti untuk Candida, namun terdapat beberapa faktor virulensi
yang mempengaruhi kemampuannya dalam
menginfeksi. Kombinasi
dari faktor ini akan
mempengaruhi
system Pertahanan tuan rumah. Dipostulasikan bahwa pathogenesis dari KVVR adalah
interaksi kompleks antara
virulensi Candida
dan faktor imunologi. Beberapa faktor virulensi untuk KVVR antara lain :
1. Germ tube formation sebagai faktor virulensi.
Germ tube
formation (GTF) dianggap sebagai faktor patogenik
utama dari KVV/KVVR,merupakan hal yang penting dalam
perlekatan Candida ke mukosa dan kemampuannya dalam menginvasi. C.albicans
mempunyai kemampuan
lebih hebat dalam
berlekat dengan sel epitel
dibandingkan strain non-albicans seperti C.tropicalis, C.krusei dan C.parapsilosis. Ini dapat menjelaskan
mengapa strain non-albicans jarang menyebabkan
KVVR. Pada pemeriksaan mikroskop elektron secara in
vivo dan in vitro terlihat
bahwa C.albicans setelah pembentukan
hifa dan GTF akan berpenetrasi
ke dalam lapisan sel epitel. Setelah
organisme menginvasi mukosa, ia
akan dilindungi dari fagositosis dan
dari mekanisme pertahanan imunitas serta aktivitas agen antijamur. Pada beberapa
lokasi, yeast akan membentuk
tempat untuk terjadinya rekurensi. Fagositosis dianggap sebagai faktor
pertahanan penting dalam infeksi Candida. Uji in vitro menyatakan
bahwa GTF dapat mengubah hidrofobisitas dari sel yeast dan karenanya menurunkan atau menghambat
fagositosis. Ini
juga yang menyebabkan persistensi
organisme pada ekosistem genital.
2. Perlekatan pada garis mukosa
Permukaan
blastokonidia manno protein mungkin memperantarai
perlekatan Candida ke sel epitel. Reseptor
sitosol untuk estrogen juga
terdapat pada C.albicans. Ekspresi
sel reseptor
dan antigen permukaan dengan
membentuk filamen
dari sel Candida berkontribusi
sebagai faktor virulensi. Fibrin dapat bekerja sebagai reseptor C.albicans. Namun
tidak jelas reseptor mana
yang berperan untuk perlekatan Candida dengan garis mukosa. Tidak terdapat
hubungan antara ekspresi reseptor dan/atau aktivasinya
dan manifestasi klinis
pada kasus KVVR.
3. Enzim sebagai faktor virulensi
Sedikitnya
terdapat tiga proteinase
yang berhubungan dengan kompartemen intraseluler
C.albicans. PH yang optimal
adalah 5 untuk intraselular
dan 2.2 sampai dengan 4.5 dalam
bentuk sekret, pH lebih
rendah dari sekret
vagina ditemukan pada kasus
KVVR. Proteinase asam yang disekresikan
akan inaktif pada PH netral. Pada
pH 7,5 terjadi denaturasi
enzim yag bersifat ireversibel.
Efek patogenik dari proteinase
ini terbatas pada kasus untuk inflamasi akut pada vagina, pada pasien dengan pH vagina yang meningkat dan
pada glikolisis
neutrofil. Sekresi proteinase in vitro adalah bahan
yang ditemukan pada C.albicans, C.tropicalis, sedangkan
hanyabeberapa ditemukan pada C.parapsilosis. Untuk spesies
Candida lainnya proteinase
jarang ditemukan. Ini dapat menjelaskan
mengapa
hanya tiga spesies Candida saja yang menjadi pathogen
umum pada
manusia. Walaupun C.albicans diisolasi dari
kasus KVV mempunyai aktivitas proteolisis yang meningkat
secara invitro, peranan enzim
ini pada KVVR masih belum jelas.
Proteinase mungkin meningkatkan kapasitas GTF pada C.albicans dan karenanya meningkatkan penetrasi
pada garis mukosa.
2.2.6 Gambaran Klinis
Diagnosis cepat dan tepat
dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan didukung pemeriksaan mikroskopik
langsung, bila perlu dilakukan biakan
(kultur). Berikut ini beberapa
pemeriksaan untuk mendeteksi KVV :
· Pemeriksaan klinis
Pada gambaran klinis, keluhan
khas dari KVV adalah gatal/iritasi vulva dan duh tubuh vaginal/keputihan Vulva
bisa terlihat tenang, tetapi bisa juga kemerahan, udem dengan fisura, dan
dijumpai erosi dan ulserasi. Kelainan
lain yang khas adalah adanya
pseudomembran, berupa plak-plak putih seperti sariawan (thrush), terdiri dari
miselia yang kusut (matted mycelia), leukosit dan sel epitel yang melekat pada
dinding vagina. Pada vagina juga dijumpai kemerahan, sering tertutup pseudo
membran. Jika pseudomembran diambil akan tampak mukosa yang erosif. Cairan
vagina biasanya mukoid atau cair dengan butir-butir atau “gumpalan keju” (cottage
cheese). Namun, duh tubuh biasanya amat sedikit dan cair, vagina dapat tampak
normal. Pada pemeriksaan kolposkopi, terdapat dilatasi atau meningkatnya
pembuluh darah pada dinding vagina atau serviks sebagai tanda peradangan
(Daili, Makes, et al., 2009).
· Pemeriksaan laboratorium
Menurut Daili (2009),
pemeriksaan mikroskopik dapat dipakai sebagai standar emas (gold standard)
untuk membuktikan adanya bentuk ragi dari kandida. Terutama sensitivitasnya
pada penderita simtomatik sama dengan biakan. Di bawah ini terdapat beberapa
metode pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk memeriksa ada
tidaknya kandida:
1. Pemeriksaan mikroskopik : pulasan
dari pseudomembran atau cairan vagina dijadikan sampel lalu dilakukan pewarnaan
Gram atau KOH 10% kemudian di letakkan di bawah mikroskop cahaya. Candida
albicans akan terlihat dimorfik dengan ragi sel-sel tunas berbentuk lonjong dan
hifa. Serta dalam bentuk yang invasif kandida tumbuh sebagi filamen, miselia,
atau pseudohifa (Schorge, Schaeffer, et al., 2008).
2. Kultur : sampel dibiakkan pada agar Sabouraud’s dextrose atau agar Nutrient. Piring agar diinkubasi pada
suhu 37°C selama 24-72 jam (Yousif, Hussien. 2010). Biakan jamur (kultur) dari
sekret vagina dilakukan untuk konfirmasi terhadap hasil pemeriksaan mikroskopik
yang negatif (false negative) yang
sering ditemukan pada KVV kronis dan untuk mengindentifikasi spesies non-Candida albicans. Kultur mempunyai
nilai sensitivitas yang tinggi sampai 90%, tetapi hasil positif kultur saja
tidak dapat dijadikan indikasi seseorang menderita KVV jika tidak ditemukan
symptom pada vagina karena 10-15% wanita normal dijumpai kolonisasi pada
vaginanya (Daili, Makes, et al., 2009).
Hal ini didukung oleh Schorge (2008), kultur secara rutin tidak
direkomendasikan kecuali pada wanita yang telah terinfeksi kandida sebelumnya
serta gatal dalam pengobatan empiris.
2.2.7. Gambaran Imunologis
Data yang tersedia
mengenai
imunopatologi dari KVVR sangat kompleks. Adanya tipe strain C.albicans yang sama
dan waktu rekurensi yang
berturut-turut menyatakan bahwa KVVR
adalah suatu kejadian relaps
dibandingkan reinfeksi. Wanita
dengan KVVR akan mengalami relaps vaginitis akibat perubahan
mekanisme pertahanan tuan rumah
pada mukosa vagina. Disfungsi lokal ini berhubungan dengan imunitas yang diperantarai sel
CMI (Cell Mediated Immuity) spesifik
Candida dibandingkan imunitas humoral
ataupun bawaan. Data yang ada menunjukkan
bahwa terganggunya CMI lokal dan/atau hipersensitivitas
langsung menjadi predisposisi
untuk gejala alergi mungkin
juga sebagai kombinasi dengan hormon
reproduksi yang meningkatkan
kemungkinan untuk episode rekurensi.
Pada KVVR
secara in vitro terdapat
gangguan proliferasi limfosit
sebagai respon terhadap Candida.
Ini menyatakan bahwa pada KVVR terjadi
efek pada sistem imunitas
selular yang spesifik Candida. Ketika Candida masuk ke
dalam tubuh, makrofag akan
bekerja untuk memfagositosis dan mempresentasikan Antigen (Ag) Candida
pada permukaan selnya dengan MHC kelas 2. Kemudian sel limfosit T akan mengenali Ag Candida. Kompleks
MHC kelas 2 dan Ag Candida akan mengaktifkan produksi IFN. IFN
kemudian akan merangsang makrofag untuk semakin memfagositosis
Candida
secara efisien dan melepaskan
IL1. IL1 ini akan merangsang sel T helper
untuk melepaskan IL2, suatu
stimulus utama untuk proliferasi selT.
Kejadian ini akan berulang-ulang sehingga kadar sel T semakin
meningkat dan kerja
makrofag semakin meningkat. Pada kasus KVVR IFN akan menurun akibat kurangnya stimulus
selT akan mempengaruhi fagositosis Candida oleh makrofag. Sehingga
populasi Candida akan semakin
meningkat dan kemudian Candida
akan menginvasi mukosa dengan meningkatkan
GTF. GTF merupakan salah satu
faktor virulensi dari masuknya
Candida
ke tubuh.
Post a Comment